Surat untuk Induk Sate
06:37:00
10 Agustus 2016, Surabaya
Kepada
induk sate
Hai, lama tak jumpa. Bagaimana kabar tusuk-tusukmu? Sudah
tegak pada tumpunya atau masih membandel bergeliat seperti yang pernah kau
ceritakan? Kurasa tusuk-tusuk itu masih perlu banyak belajar, persis seperti
yang kubilang tentang bidang-bidang bambu yang dulu kau pilih dan pilah di
halaman belakang. Kubilang padamu walau ruas-ruasnya lebar dan tebal, tetap
saja harus kau sekolahkan mereka, supaya kau sendiri yang tak kerepotan
nantinya. Setelah menjadi tusuk-tusuk seperti yang kau suratkan padaku beberapa
bulan yang lalu, kau bilang mereka masih saja menggeliat dan tak mau diatur. Ku
sarankan sekarang, kau ambil saja kursus di perempatan jalan itu, kata
orang-orang itu bisa membuat tusuk-tusuk tegak pada tumpunya hanya dalam
beberapa hari saja!
Oh iya, bagaimana kabar daging-dagingmu? Itu loh
yang ayam dan kambing. Masih saja ku ingat ketika dulu aku menyambangi rumahmu,
mereka sedang asyik bermain di kolam hitam, berisi air bumbu. Kecil-kecil
sekali mereka dulu itu, bahkan untuk ukuran anak kecil kukira mereka bisa
disebut kerdil. Yah hanya seukuran satu ruas jari telunjuk, dengan tebal tak
lebih dari kuku jari kelingkingku. Tapi untuk ukuran anak kecil, mereka bisa
kubilang cukup lincah. Air bumbu yang teraduk dalam bak itu saja, hingga tidak
karuan warnanya ketika mereka bermain-main di dalamnya. Huh, aku jadi semakin
rindu saja bertemu dengan mereka. Bagaimana bentuknya mereka sekarang ya. Walaupun
lincah, daging-daging itu aku akui memiliki perangai dan sikap yang baik. Apalagi
ketika kulihat mereka mau dibariskan dengan rapih tiga orang tiap barisnya
untuk di sejajarkan di tusuk sate yang dulu belum sempat kau sekolahkan itu.
Betapa beruntungnya kau memiliki daging-daging kecil yang lincah namun penurut
itu.
Oh iya hampir saja terlupa, masih juga teringat oleh
ku kacang-kacang yang dulu tinggal di pelataran rumahmu. Dulu mereka masih
botak dan terpisah satu sama lain. Jelasmu, mereka salah satu dari anak-anakmu
yang susah untuk diatur. Bagaimana tidak, mereka tumbuh jauh di bawah tanah. Gelap,
sesak, padat, tidak enaklah pokoknya. Wajar bagiku ketika mereka terlepas dari
kulitnya dan langsung menyebar kesana kemari tanpa aturan. Saranku jangan
terlalu keraslah kepada mereka, biarkan mereka merasakan kebebasan mereka
terlebih dahulu, toh bukannya saat kecil kita juga begitu di kampung? Kulihat
di laman facebook mereka sekarang sudah mau bergaul dengan yang lainnya.
Terutama si kecap, olahan kacang kedelai dari kampung lain. Dari foto yang
kudapat, mereka bisa berbaur akrab dalam satu piring bening. Apakah kau yang
mempersaudarakan mereka dalam piring bening tersebut? Kalau memang begitu,
syukurlah. Arahanmu tampaknya tepat, mereka terlihat begitu akrab satu sama
lain.
Kerabatmu arang dan kipas bambu, apakah mereka masih
sehat? Semoga masih sehat ya, kalau tidak siapa yang akan mengurus anak-anak
itu tadi. Kau pasti akan kewalahan bila tanpa bantuan dari mereka berdua. Dari ceritamu
beberapa bulan yang lalu, kukira sudah seharusnya arang digantikan dengan
batok-batok kelapa dari halaman belakang. Sudah terlalu tua dan lama-kelamaan
bisa menjadi abu si arang itu, dan ku kira para batok sudah cukup matang untuk
bisa mengurus anak-anak tadi. Kipas bambu juga nampaknya sudah perlu diobati
dari penyakitnya. Apakah kau lihat, sudah banyak lubang di sekujur tubuhnya,
mungkin jika kau bawa ke klinik Pak Tohir si mantri anyam itu, kipas bambu bisa
membantumu dengan lebih baik lagi. Dan kau bisa mengurus anak-anak itu dengan
lebih baik.
Hei Induk Sate, sampai lupa aku menanyakan kabarmu. Bagaimana
kumis melipir di bawah hidung lebarmu? Masih seringkah kau memainkannya ketika
kau mengurus anak-anak itu? Baju garis merah horizontal yang kerap kau pakai
ketika mengurus anak-anakmu itu, kini aku telah memilikinya. Kau tau dimana aku
mendapatkannya? Aku membelinya di seberang Jembatan Suramadu, tidak jauh dari
situ, hanya beberapa ratus meter ada penjual yang menjajakannya di tepi jalan.
Sudah lama aku menginginkannya, dan kau tau berapa harga yang aku dapatkan? Setelah
berdebat tentang harga, aku hanya perlu membayar 20 ribu rupiah! Bayangkan hanya
20 ribu rupiah! Ini akan menjadi baju favoritku yang akan aku pakai di
acara-acara penting. Yang masih kurang adalah ikat kepala yang belum juga aku
temukan dimana tempat membelinya. Ikat kepala yang hampir setiap hari kau
kenakan, aku harus mendapatkannya agar lengkap gayaku serupa denganmu ketika
akan menghadiri acara-acara penting nantinya. Perutmu kini membuncit ya, kawan?
Beberapa waktu lalu aku liat di timeline Twitter
di dalam foto yang kau post itu, betapa perutmu begitu berubah sejak terakhir
kali aku bertemu denganmu.
Induk Sate, kukira sudah cukup panjang suratku ini
untukmu. Salam untuk tusuk-tusuk, daging ayam, daging kambing, kacang dan kecap
kerabat barunya, arang, serta kipas bambu. Jika ada waktu akan kusempatkan
untuk bertemu dengan kalian di kampung. Oh iya terakhir aku beritakan kini aku
sedang membuka warung sate di pinggir Jalan Mulyosari, harap kau menyempatkan
waktu untuk membelinya ya.
Salam Hangat
Saudaramu
0 komentar