Sudut Merah-Putih di Kota Pahlawan

Ku rasa ku senang hari ini. Jalanan penuh dengan pernak-pernik kebangsaan, merah-putih. Gerbang-gerbang jalan masuk kampung tak kalah...


Ku rasa ku senang hari ini. Jalanan penuh dengan pernak-pernik kebangsaan, merah-putih. Gerbang-gerbang jalan masuk kampung tak kalah meriah, menyamakan dirinya dengan bendera yang saling bersautan untuk mengibarkan dirinya, yap mereka bernada merah-putih juga. Sesekali juga kulihat patung-patung baru dengan ikat kepala di kepalanya (yang lagi-lagi merah-putih) dan tangan mengepal, seakan ingin meneriakan kebahagiaannya dengan lurus menatap ke depan. “Merdeka!!!” mungkin itu kata yang akan keluar jika memang mereka diizinkan untuk berteriak, sekali saja. Jalanan penuh dengan kemeriahan. Hampir tiap gang yang terlihat di pelupuk mata mendirikan panggung-panggung, ada yang seadanya ada juga yang cukup mewah. Wah, aku benar-benar merasa senang hari ini. Betapa tidak, banyak orang berbondong-bondong di pinggir panggung untuk saling mengisi kebahagiaannya dengan memekikan kata yang sama dengan apa yang patung di sebelah sana ingin katakan, “Merdeka!!!” ucap mereka. Panggung-panggung berdiri dan lantunan lagu kebangsaan terus saja dikumandangkan. Ibu-ibu sibuk mengurusi konsumsi kala itu sambil berbicara tentang apa saja yang akan mereka dapatkan pada hari itu, apakah hanya sekedar senyum dari suami mereka atau mungkin ada tambahan gaji untuk berbelanja esok hari, hmmm siapa yang tahu. Anak-anak tak kalah meriah, mereka saling bersautan satu sama lain, ada yang ikut bernyanyi dengan lantunan sound system yang ikut berbahagia dengan ornamen merah-putihnya, ada yang sibuk dengan teman-temannya berlarian ke sana kemari entah kemana, ada yang sudah sibuk dengan handphonenya berselancar dalam dunia maya (semoga ia juga memekikan kata “Merdeka!!!” dalam ketikan keypadnya).

Hari ini kulalui dengan tidak kalah meriah dari mereka-mereka di jalanan. Setelah menjalani rutinitas asrama (QL dan WBS), apel pagi yang dikhususkan untuk menyambut hari berbahagia ini kami lakukan bersama (dengan teman-teman asrama). Setelah mendengar orasi kebangsaan dari Pembina apel (yang mana ia temanku juga), bergegas kami bersiap untuk melaksanakan agenda yang telah kami sepakati bersama. Creative Campaign istilah kami untuk menyebut agenda yang kami adakan khusus sebagai penyambut kebahagiaan seluruh nusantara. Sederhana yang kami lakukan sebenarnya, berjalan kaki menuju perempatan jalan. Membawa spanduk-spanduk yang berisi tulisan-tulisan tentang kemeriahan dan penyemangat hari spesial ini. Dengan bolak-balik mengikat kepala dengan slayer merah yang telah kami persiapkan sebelumnya. Memeriahkan jalanan dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan pekikan “Merdeka” di setiap jedanya. Dan saling mengingatkan para pengguna jalan untuk memerdekakan hak-hak yang juga dimiliki oleh pengguna jalan lain, sembari membagikan stiker bertema hari special ini, Hari Kemerdekaan Indonesia.

Kampanye Kreatif yang kami lakukan bertujuan untuk saling mengingatkan para pengguna jalan untuk tertib berlalu lintas. Hal kecil yang sebenarnya besar dampaknya. Akan sedikit kuterangkan apa saja yang kami perbuat hari ini. Setelah berjalan dari asrama ke perempatan besar, kami langsung membentangkan spanduk-spanduk yang bertemakan hari kemerdekaan ini. Di sepanjang jalan juga kami membagikan semangat kemerdekaan dengan memberi stiker-stiker yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Sengaja kami menunggu di perempatan jalan, untuk mengkampanyekan apa yang kami bawa sebelumnya. Ya, tentang ketertiban berlalu-lintas. Ketika lampu jalanan berganti menjadi merah, kami langsung beraksi. Satu spanduk yang berisi ajakan untuk tertib berlalu lintas kami bentangkan tepat di depan pengguna jalan yang sedang berhenti. Salah satu dari kami dengan pengeras suara yang dipegangnya mengemukakan apa-apa saja yang kami bawa pada saat itu. ketertiban berlalu lintas menjadi hal utama yang dibicarakan. Menghargai pejalan kaki serta pengguna jalan yang lain, mengikut segala peraturan yang ada kami dengungkan dipenjuru perempatan itu. Kurasa lampu jalan di perempatan itu hapal dengan apa-apa yang kami kampanyekan saat itu. Ya tidak hanya sekali kami beraksi, namun beberapa kali kesempatan dengan menunggu warna merah membanggakan dirinya di atas tiang itu. Stiker-stiker juga tidak lupa kami bagikan kepada pengguna jalan yang kami rasa telah melaksanakan kewajibannya dengan baik. Pekikan kemerdekaan juga tak lupa kami bagikan kepada mereka. Satu hal sederhana lain yang membuatku bahagia adalah ketika mereka ikut memekikan seruan-seruan “Merdeka!!!” yang kami teriakan. Sederhana memang, namun dengan itu ku rasa pesan-pesan yang kami bawa dan bagikan tersampaikan kepada mereka.

Berpindah dari satu perempatan ke perempatan lain, sambil mengkampanyekan apa yang kami bawa terus kami lakukan. Dengan memanfaatkan pengeras suara hasil pinjaman kami manfaatkan dengan menyuarakan apa-apa yang kami rasa pada momen itu. Aku beruntung menjadi orang yang mendapat kesempatan untuk berorasi di tengah keramaian jalan saat itu. Semoga semangat yang ingin kubagikan dapat tersampaikan dengan baik kepada lainnya. Namun dalam kemeriahan saat itu, ada beberapa momen yang menahan perasaanku sesaat. Kemeriahan yang kugambarkan pada paragraf pertama dalam tulisan ini ternyata tidak semua merasakannya. Dalam perjalanan ketika berpindah-pindah membagikan pesan-pesan yang kami bawa, bermacam-macam orang yang kutemui. Aku menemui pemuda yang sibuk dengan gadgetnya. Aku menemui anak-anak yang begitu semangat ikut memekikan kata yang kami teriakan (bahkan ketika ku ajak bernyanyi, mereka mengikuti dengan begitu semangat). Aku juga menemui orang-orang yang sepertinya bingung dengan apa yang kami teriakan pada saat itu. Yap, aku bertemu dengan beberapa pemulung sampah, yang sepertinya terlalu sibuk dengan kegiatannya sampai-sampai tidak merasakan kebahagiaan yang dirasa sebagaian orang pada saat itu. Sengaja aku berhenti dan tertinggal dari rombongan untuk sekedar mendekati mereka. Ku paksakan untuk menyebarkan kebahagiaan yang kami bawa pada saat itu. Ku serahkan stiker-stiker berisi kata-kata kemerdekaan. Kupekikan juga sesekali kata “Merdeka!!!” sambil mengatakan beberapa kata kepada mereka. Namun kurasa sepertinya mereka belum juga bisa berbaur dengan perasaan yang coba kami bagikan. Kurasa mereka terlalu sibuk dengan kegiatan hidup-mati mereka, sehingga bahkan kebahagiaan yang melekat di sudut-sudut kota luput dari perasaan mereka. Gerobak sampah dan keranjang yang menempel pada bahu mereka lebih mengasyikan daripada bendera merah-putih yang dipajang di sepanjang jalan. Menghela keringat dari dahi mereka ku kira lebih berarti daripada ikut memekikan kata-kata merdeka, seperti yang kami lakukan di sepanjang jalan. Dan untuk itu aku menahan perasaanku untuk sesaat. Terlalu egois kiranya ketika ku memaksakan untuk membagi semangat ini kepada mereka, sedangkan mereka memiliki semangat yang lebih tinggi dari sekedar pekikan-pekikan kami di jalanan. Terlalu rendah ku kira orasi-orasi kami di jalanan dibanding kata-kata yang selalu mereka adukan kepada Tuhan di sepanjang jalanan, untuk mengadu terhadap nasib yang mereka dapati. Kawanku mendekat sesaat setelah kuberpapasan dengan mereka.

“Sepertinya dari sorot mata mereka tidak ada sama sekali kemerdekaan di dalam perasaan mereka.” Ucap kawanku. Dan kubenarkan apa yang ia katakan.

Setelah berjalan dari perempatan satu ke yang lainnya, kami sempatkan untuk mengunjungi taman yang sedang ramai saat itu. Kampanye tersebut terus kami sampaikan, stiker-stiker juga terus kami bagikan. Lagu-lagu kebangsaan tetap kami nyanyikan sembari bergantian memanfaatkan pengeras suara hasil pinjaman itu untuk bergantian berorasi menyuarakan apa yang kami rasakan pada saat itu. Meriah sesungguhnya momen itu, dengan hijau-hijau daun dari pohon-pohon besar taman yang seakan ikut memekikan “Merdeka!!!” jika kami diizinkan mendegar apa yang mereka katakan. Lampu-lampu taman serta jalan setapak kurasa juga ikut berseri dengan semangat yang kami bawa untuk kami bagikan kepada para pengunjung di sana. Namun aku masih terpikirkan juga kepada pemulung yang berpapasan dengan ku di jalan tadi. Sorot matanya masih terbayang di benakku bahkan ketika aku memulai orasiku di taman itu. Suara hati pemulung itu seakan terdengar ketika aku ikut menyanyikan lagu kebangsaan bersama para penghuni taman. Kuharap semoga kemerdekaan ini benar-benar kemerdekaan yang diharapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Dan kuharap para pemulung tersebut juga termasuk ke dalam bangsa Indonesia. Agar mereka dapat memekikan kata “Merdeka!!!” tidak hanya dari mulut mereka, namun juga dari hati dan kata-kata yang senantiasa mereka panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Terik matahari kian meninggi, awan-awan enggan meneduhi kami dengan punggung-punggungnya. Hawa khas Surabaya semakin terasa di ujung kulit dan kami sadari sudah saatnya kami beranjak kembali. Merah-putih masih kami temui di seluruh sudut kota, bahkan kulihat ada juga di pojok hati kakek yang tersenyum menyaksikan aksi kami. Patung-patung masih saja memohon untuk diizinkan memekikan kata “Merdeka!!!” dari mulut mereka masing-masing. Riuh jalanan dan asap kendaraan seakan berbeda pada hari ini, mungkin karena hari ini adalah hari kemerdekaan. Dan kulihat Surabaya masih saja dengan ciri khasnya, Kota Pahlawan dengan berjuta-juta semangat dan asa, berharap serta ikut berjuang untuk memerdekakan Indonesia dengan sebenar-benarnya.

17 Agustus 2016
Surabaya

You Might Also Like

1 komentar

  1. Salam Pemuda Kawan..
    Merdeka! Merdeka! Merdeka!
    Darah seakan mendidih melihat tulisanmu kawan, kata "Merdeka" semakin mengiang di kepalaku. Aku bangga melihat pemuda seperti mu dan juga teman seasramamu yang BERANI dan MAU menyuarakan Kemerdekaan Republik kita ini.
    Kutunggu Kabar gembira lainnya darimu, Kabar gembira ketika kau melakukan hal yang berguna bagi Bangsa Kita.
    "Memang hal kecil, namun penuh Makna".
    TTD.
    Temanmu
    T2R

    ReplyDelete