Sudut Merah-Putih di Kota Pahlawan
02:06:00
Hari ini kulalui dengan tidak kalah meriah dari
mereka-mereka di jalanan. Setelah menjalani rutinitas asrama (QL dan WBS), apel
pagi yang dikhususkan untuk menyambut hari berbahagia ini kami lakukan bersama
(dengan teman-teman asrama). Setelah mendengar orasi kebangsaan dari Pembina apel
(yang mana ia temanku juga), bergegas kami bersiap untuk melaksanakan agenda
yang telah kami sepakati bersama. Creative
Campaign istilah kami untuk menyebut agenda yang kami adakan khusus sebagai
penyambut kebahagiaan seluruh nusantara. Sederhana yang kami lakukan
sebenarnya, berjalan kaki menuju perempatan jalan. Membawa spanduk-spanduk yang
berisi tulisan-tulisan tentang kemeriahan dan penyemangat hari spesial ini. Dengan
bolak-balik mengikat kepala dengan slayer merah yang telah kami persiapkan
sebelumnya. Memeriahkan jalanan dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan
pekikan “Merdeka” di setiap jedanya. Dan saling mengingatkan para pengguna
jalan untuk memerdekakan hak-hak yang juga dimiliki oleh pengguna jalan lain,
sembari membagikan stiker bertema hari special ini, Hari Kemerdekaan Indonesia.
Kampanye Kreatif yang kami lakukan bertujuan untuk
saling mengingatkan para pengguna jalan untuk tertib berlalu lintas. Hal kecil
yang sebenarnya besar dampaknya. Akan sedikit kuterangkan apa saja yang kami
perbuat hari ini. Setelah berjalan dari asrama ke perempatan besar, kami
langsung membentangkan spanduk-spanduk yang bertemakan hari kemerdekaan ini. Di
sepanjang jalan juga kami membagikan semangat kemerdekaan dengan memberi
stiker-stiker yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Sengaja kami menunggu di
perempatan jalan, untuk mengkampanyekan apa yang kami bawa sebelumnya. Ya,
tentang ketertiban berlalu-lintas. Ketika lampu jalanan berganti menjadi merah,
kami langsung beraksi. Satu spanduk yang berisi ajakan untuk tertib berlalu
lintas kami bentangkan tepat di depan pengguna jalan yang sedang berhenti. Salah
satu dari kami dengan pengeras suara yang dipegangnya mengemukakan apa-apa saja
yang kami bawa pada saat itu. ketertiban berlalu lintas menjadi hal utama yang
dibicarakan. Menghargai pejalan kaki serta pengguna jalan yang lain, mengikut
segala peraturan yang ada kami dengungkan dipenjuru perempatan itu. Kurasa
lampu jalan di perempatan itu hapal dengan apa-apa yang kami kampanyekan saat
itu. Ya tidak hanya sekali kami beraksi, namun beberapa kali kesempatan dengan
menunggu warna merah membanggakan dirinya di atas tiang itu. Stiker-stiker juga
tidak lupa kami bagikan kepada pengguna jalan yang kami rasa telah melaksanakan
kewajibannya dengan baik. Pekikan kemerdekaan juga tak lupa kami bagikan kepada
mereka. Satu hal sederhana lain yang membuatku bahagia adalah ketika mereka
ikut memekikan seruan-seruan “Merdeka!!!” yang kami teriakan. Sederhana memang,
namun dengan itu ku rasa pesan-pesan yang kami bawa dan bagikan tersampaikan
kepada mereka.
Berpindah dari satu perempatan ke perempatan lain,
sambil mengkampanyekan apa yang kami bawa terus kami lakukan. Dengan memanfaatkan
pengeras suara hasil pinjaman kami manfaatkan dengan menyuarakan apa-apa yang
kami rasa pada momen itu. Aku beruntung menjadi orang yang mendapat kesempatan
untuk berorasi di tengah keramaian jalan saat itu. Semoga semangat yang ingin
kubagikan dapat tersampaikan dengan baik kepada lainnya. Namun dalam kemeriahan
saat itu, ada beberapa momen yang menahan perasaanku sesaat. Kemeriahan yang
kugambarkan pada paragraf pertama dalam tulisan ini ternyata tidak semua
merasakannya. Dalam perjalanan ketika berpindah-pindah membagikan pesan-pesan
yang kami bawa, bermacam-macam orang yang kutemui. Aku menemui pemuda yang
sibuk dengan gadgetnya. Aku menemui
anak-anak yang begitu semangat ikut memekikan kata yang kami teriakan (bahkan
ketika ku ajak bernyanyi, mereka mengikuti dengan begitu semangat). Aku juga
menemui orang-orang yang sepertinya bingung dengan apa yang kami teriakan pada
saat itu. Yap, aku bertemu dengan beberapa pemulung sampah, yang sepertinya
terlalu sibuk dengan kegiatannya sampai-sampai tidak merasakan kebahagiaan yang
dirasa sebagaian orang pada saat itu. Sengaja aku berhenti dan tertinggal dari
rombongan untuk sekedar mendekati mereka. Ku paksakan untuk menyebarkan
kebahagiaan yang kami bawa pada saat itu. Ku serahkan stiker-stiker berisi
kata-kata kemerdekaan. Kupekikan juga sesekali kata “Merdeka!!!” sambil
mengatakan beberapa kata kepada mereka. Namun kurasa sepertinya mereka belum
juga bisa berbaur dengan perasaan yang coba kami bagikan. Kurasa mereka terlalu
sibuk dengan kegiatan hidup-mati mereka, sehingga bahkan kebahagiaan yang
melekat di sudut-sudut kota luput dari perasaan mereka. Gerobak sampah dan
keranjang yang menempel pada bahu mereka lebih mengasyikan daripada bendera
merah-putih yang dipajang di sepanjang jalan. Menghela keringat dari dahi
mereka ku kira lebih berarti daripada ikut memekikan kata-kata merdeka, seperti
yang kami lakukan di sepanjang jalan. Dan untuk itu aku menahan perasaanku
untuk sesaat. Terlalu egois kiranya ketika ku memaksakan untuk membagi semangat
ini kepada mereka, sedangkan mereka memiliki semangat yang lebih tinggi dari
sekedar pekikan-pekikan kami di jalanan. Terlalu rendah ku kira orasi-orasi
kami di jalanan dibanding kata-kata yang selalu mereka adukan kepada Tuhan di
sepanjang jalanan, untuk mengadu terhadap nasib yang mereka dapati. Kawanku mendekat
sesaat setelah kuberpapasan dengan mereka.
“Sepertinya dari sorot mata mereka tidak ada sama
sekali kemerdekaan di dalam perasaan mereka.” Ucap kawanku. Dan kubenarkan apa
yang ia katakan.
Setelah berjalan dari perempatan satu ke yang
lainnya, kami sempatkan untuk mengunjungi taman yang sedang ramai saat itu.
Kampanye tersebut terus kami sampaikan, stiker-stiker juga terus kami bagikan. Lagu-lagu
kebangsaan tetap kami nyanyikan sembari bergantian memanfaatkan pengeras suara
hasil pinjaman itu untuk bergantian berorasi menyuarakan apa yang kami rasakan
pada saat itu. Meriah sesungguhnya momen itu, dengan hijau-hijau daun dari
pohon-pohon besar taman yang seakan ikut memekikan “Merdeka!!!” jika kami
diizinkan mendegar apa yang mereka katakan. Lampu-lampu taman serta jalan
setapak kurasa juga ikut berseri dengan semangat yang kami bawa untuk kami
bagikan kepada para pengunjung di sana. Namun aku masih terpikirkan juga kepada
pemulung yang berpapasan dengan ku di jalan tadi. Sorot matanya masih terbayang
di benakku bahkan ketika aku memulai orasiku di taman itu. Suara hati pemulung
itu seakan terdengar ketika aku ikut menyanyikan lagu kebangsaan bersama para
penghuni taman. Kuharap semoga kemerdekaan ini benar-benar kemerdekaan yang
diharapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Dan kuharap para pemulung tersebut juga
termasuk ke dalam bangsa Indonesia. Agar mereka dapat memekikan kata “Merdeka!!!”
tidak hanya dari mulut mereka, namun juga dari hati dan kata-kata yang
senantiasa mereka panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Terik matahari kian meninggi, awan-awan enggan
meneduhi kami dengan punggung-punggungnya. Hawa khas Surabaya semakin terasa di
ujung kulit dan kami sadari sudah saatnya kami beranjak kembali. Merah-putih
masih kami temui di seluruh sudut kota, bahkan kulihat ada juga di pojok hati
kakek yang tersenyum menyaksikan aksi kami. Patung-patung masih saja memohon
untuk diizinkan memekikan kata “Merdeka!!!” dari mulut mereka masing-masing.
Riuh jalanan dan asap kendaraan seakan berbeda pada hari ini, mungkin karena
hari ini adalah hari kemerdekaan. Dan kulihat Surabaya masih saja dengan ciri
khasnya, Kota Pahlawan dengan berjuta-juta semangat dan asa, berharap serta
ikut berjuang untuk memerdekakan Indonesia dengan sebenar-benarnya.
17 Agustus 2016
Surabaya
1 komentar
Salam Pemuda Kawan..
ReplyDeleteMerdeka! Merdeka! Merdeka!
Darah seakan mendidih melihat tulisanmu kawan, kata "Merdeka" semakin mengiang di kepalaku. Aku bangga melihat pemuda seperti mu dan juga teman seasramamu yang BERANI dan MAU menyuarakan Kemerdekaan Republik kita ini.
Kutunggu Kabar gembira lainnya darimu, Kabar gembira ketika kau melakukan hal yang berguna bagi Bangsa Kita.
"Memang hal kecil, namun penuh Makna".
TTD.
Temanmu
T2R