Ronggeng Dukuh Paruk
12:55:00
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : XIII, 2017
Tebal : 408 halaman
ISBN : 978-979-22-0196-3
Novel
Ronggeng Dukuh Paruk ini menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa untuk saya.
Selain penulis dengan cermat dapat mengejawantahakan maksud dan pikirannya
dalam tulisan yang sungguh nyaman dibaca, novel ini menjadi sebuah fenomena
yang layak untuk diikuti. Bagaimana tidak, penulis dapat dengan lengkap dan
jelas memperlihatkan melalui kata-katanya sebuah kondisi dan situasi di sebuah
pedukuhan yang mungkin untuk orang sekarang jarang ditemui. Kondisi primitif
yang jauh dari hiruk pikuk kota dan kemewahan, tapi secara lengkap dapat
digambarkan. Visualisasi keadaan alam pedesaan yang mendetil, suasana pada tiap
bagiannya yang tergambar dengan lengkap, hingga perasaan dan pikiran masyarakat
pedesaan dapat tersampaikan dengan lugas di novel ini.
Dalam
novel ini saya sebagai orang yang awam dalam dunia sastra, dapat menikmati
cerita yang disajikan. Konflik yang pelik dan terhubung dengan keadaan yang
sungguh terjadi dalam sejarah disajikan dengan rapih dan tertata. Hal-hal tak
terduga dan tak dapat diterka bisa dengan mudahnya digiring dengan penyampaian
menarik namun lugas dan tidak bertele-tele. Pembaca seakan dibawa menjadi
seorang masyarakat Dukuh Paruk yang terasing, dan ikut dibawa mengalami konflik
yang terjadi. Baik konflik antar tokoh, maupun konflik batin setiap tokohnya.
Novel ini
mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kelihaian sebuah dukuh yang bersandar
pada kepercayaan leluhurnya. Sebuah kondisi yang menggambarkan bagaimana sebuah
kesederhanaan pedukuhan “tertinggal” dapat hidup dengan bahagia menurut
kepercayaan mereka sendiri. Sayangnya kondisi eksternal yang tidak dipahami
oleh masyarakat di sana merusak tata nilai yang sudah lama terbentuk di
pedukuhan itu. Peristiwa politik yang sama sekali asing bagi masyarakat
pedukuhan, merusak seluruh bentuk kehidupan yang ada di Dukuh Paruk. Konflik yang
dibangun mengajarkan bahwa tidak semua orang yang dianggap tersangkut paut pada
sebuah peristiwa politik, merupakan aktor yang sesungguhnya.
Selain
itu novel ini menjelaskan bagaimana kehalusan jiwa dan perasaan seorang wanita.
Srintil sebagai tokoh utama dalam novel ini menggambarkan, bagaimana posisinya
sebagai ronggeng yang didamba-dambakan wanita lain sangat dikutuknya.
Keinginannya menjadi wanita biasa yang utuh dan dicintai oleh seorang lelaki,
tak kunjung terkabul. Srintil dijadikan oleh penulis sebagai korban yang
tersisih karena kodrat alam.
Novel ini
banyak mengajarkan hal-hal yang mungkin jarang diketahui oleh orang-orang kota
terhadap orang-orang pelosok desa. Dari yang paling sederhana seperti suasana
pedesaan dan kondisi alam yang ada hingga konflik batin dan pola pemikiran yang
hanya dimiliki oleh masyarakat desa, tersaji dengan apik. Ketika membaca novel
ini, pembaca seakan dibawa pada suasana tenang pedesaan dan menjadi bagian dari
keseharian sederhana masyarakat desa. Penulis berhasil menggiring pembaca
menikmati itu semua.
Secara
keseluruhan, novel ini dapat dinikmati karena bahasanya yang mudah dimengerti
namun lugas dan jelas. Penyajian konflik yang pelik dan tidak terduga menjadi
keseruan tersendiri. Terlebih lagi penulis dapat membuat pembaca seakan-akan
merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh yang ada pada novel ini. Penulis
berhasil menghadirkan dunia Dukuh Paruk pada para pembaca.
Review
Novel
Ronggeng Dukuh Paruk ini merupakan gabungan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari. Trilogi tersebut terdiri dari Ronggeng
Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari,
dan Jantera Bianglala. Diawali dengan
kisah sebuah pedukuhan kecil yang berisi keturunan dari Ki Secamenggala,
seorang bromocorah yang suka merampok dan membunuh, Dukuh Paruk mewarisi
sifat-sifat bijak Ki Secamenggala yang insaf karena perlakuan masa lalunya.
Dukuh Paruk merupakan pedukuhan terpencil yang begitu kental dengan adat
tradisional dan nilai-nilai khusus khas pedukuhan tersebut. Belum masuk pada
Dukuh Paruk pengaruh teknologi, ekonomi,
budaya luar, bahkan seluruh penduduknya merupakan orang-orang buta huruf.
Mereka berpegang teguh pada nilai-nilai leluhur yang ditinggalkan oleh Ki
Secamenggala.
Dukuh
Paruk merupakan pedukuhan di kecamatan Dawuan yang begitu terkenal dengan
kesenian khas dan sangat dibangga-banggakan oleh seluruh masyarakat Dukuh
Paruk, ialah Ronggeng. Ronggeng tidak hanya menjadi sebuah kesenian yang
melekat pada nilai-nilai tradisional, lebih dari itu ronggeng merupakan harga
diri, kebanggaan, dan jiwa dari Dukuh Paruk. Ronggeng yang lahir dari rahim
Dukuh Paruk akan menjadi simbol berharga dan sangat bernilai bagi dukuh
tersebut. Seluruh masyarakat akan berbondong-bondong merawat dan mengurus harta
berharga daerah tersebut. Tanpa ronggeng, Dukuh Paruk hanyalah sebuah wilayah
kosong yang terasing dan tak bernilai.
Setelah
12 tahun ditinggal ronggeng terakhir di pedukuhan tersebut, lahirlah Srintil
gadis kecil yang dipercaya dirasuki inang ronggeng sehingga membuat anak
tersebut menjadi ronggeng seutuhnya. Menjadi kebanggan Dukuh Paruk, sebuah
harga diri yang dibangga-bangga kan oleh seluruh masyarakat pedukuhan tersebut.
Srintil merupakan seorang Yatim-Piatu yang ditinggal meninggal oleh kedua orang
tuanya karena sebuah malapetaka tempe bongkrek ketika Srintil berumur 3
bulan. Setelah itu Srintil pun tinggal
bersama kedua kakek-neneknya hingga besar. Setelah diketahui bakat Srintil,
seorang dukun ronggeng bernama Kertareja langsung mengangkatnya menjadi anak.
Diasah olehnya hingga Srintil benar-benar menjadi ronggeng yang sesungguhnya.
Dalam
novel ini diceritakan pula Rasus, seorang pemuda seumuran Srintil yang menjadi
teman main Srintil semenjak kecil. Rasus pun merupakan seorang Yatim-Piatu yang
ditinggal kedua orang tuanya karena malapetaka tempe bongkrek. Dia tinggal
bersama Neneknya di sebuah gubuk kecil. Rasus merupakan tambatan hati Srintil,
yang merupakan seorang ronggeng. Dalam adat yang ada, ronggeng merupakan
pemilikan semua lelaki yang ada. Dan ronggeng tidak boleh memiliki ikatan
secara pribadi terhadap seseorang lelaki. Itulah yang disesalkan Rasus. Srintil
yang menjadi teman sejak kecilnya, merupakan jelmaan Emak Rasus yang mati karena
malapetaka tempe bongkrek. Perasaan itu terus berlanjut hingga mereka dewasa.
Kenyataan bahwa Srintil merupakan seorang ronggeng tidak bisa diterima oleh
Rasus, dan pada akhirnya jelmaan Emaknya tersebut harus direlakan olehnya.
Sebuah kenyataan yang begitu menyayat hati, dari seorang anak yang merindukan
pelukan dan kasih sayang seorang ibu, harus hancur karena jelmaan yang selama
ini ia bayangkan merupakan kepemilikan seluruh lelaki.
Novel ini
mengisahkan tentang gairah Dukuh Paruk setelah hidup kembalinya kesenian
ronggeng yang diwujudkan dalam diri seorang Srintil. Sebagai ronggeng yang
berbakat dan dianugerahi wajah cantik jelita, tak ada lelaki yang tidak luruh
akan pesona Srintil. Seluruh pria dari penjuru dusun, kelurahan, dan kecamatan
berbondong-bondong datang untuk dapat menikmati pesona Srintil, ronggeng
kebanggaan Dukuh Paruk. Srintil pun begitu menikmati posisinya sebagai
ronggeng. Hingga sebuah kejadian merubah cara pandang hidupnya.
Rasus
yang sedari kecil hidup dekat dengan Srintil, perlahan tersingkir karena
Srintil telah menjadi ronggeng pujaan semua orang. Karena hal itu, akhirnya dia
menyingkir dan pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk bekerja di pasar Dawuan.
Dalam sebuah kejadian, Rasus bertemu satu regu tentara yang sedang bertugas di
sana, dan dijadikanlah Rasus sebagai kacung para tentara tersebut. Dalam sebuah
perburuan kelompok perampok yang meresahkan kecamatan Dawuan, Rasus menjadi
pahlawan setelah dapat mematikan sekelompok perampok dengan tangannya sendiri.
Atas jasanya tersebut, ia dipromosikan untuk menjadi seorang prajurit dengan
syarat mengikuti pelatihan. Keadaan ini menjadikan Rasus yang awalnya bukan
apa-apa berubah layaknya seorang pahlawan gagah berani, setidaknya untuk Dukuh
Paruk. Kondisi seperti ini pula lah yang membuat Srintil tergugah hatinya dan
kembali pada tambatan hatinya, Rasus. Namun kekecewaan Rasus terhadap kondisi
Srintil sebagai ronggeng menampikan kondisi tersebut. Rasus harus pergi
meninggalkan Dukuh Paruk, juga meninggalkan luka yang sangat mendalam untuk
Srintil. Semenjak saat itu Srintil tidak bergairah untuk menjadi seorang
ronggeng yang menarik nafsu birahi para lelaki, bahkan untuk sekedar tampil
pentas di depan banyak orang.
Diceritakan
selanjutnya Srintil diundang untuk mengisi sebuah pementasan tingkat kecamatan,
dalam rangka memeringati hari kemerdekaan. Karena datangnya dari kecamatan,
dibanding sebagai tawaran pentas ini lebih jauh datang sebagai perintah. Mau
tak mau, Srintil harus tampil meronggeng agar terhindar dari hukuman yang ada.
Namun setelah peronggengan inilah yang merubah kondisi Srintil sebagai
ronggeng, tim musik ronggeng yang mengirinya, hingga Dukuh Paruk seluruhnya.
Pergolakan politik yang terjadi membuat Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa
terseret pada keadaan politik di Indonesia. Naas terjadi Dukuh Paruk terseret
kedalam konflik dan dituduh ada di posisi pihak yang kalah. Hal ini sangat
berdampak pada kondisi Dukuh Paruk, terutama kelompok pentas ronggeng dan yang
paling utama Srintil. Dukuh Paruk dituduh sebagai organ dari ideologi terlarang
dan ronggeng Dukuh Paruk dituduh menjadi alat propagandanya. Hal ini memaksa
seluruh petua dan kelompok seni ronggeng diringkuh dalam penjara. Sebagian
besar ditahan selama dua minggu, kecuali Srintil. Srintil dipaksa mendekap
selama dua tahun dalam penjara, dengan tuduhan yang sama sekali tidak
diketahuinya. Perisitiwa inilah yang mengubah Dukuh Paruk seutuhnya.
Setelah
Dukuh Paruk hancur akibat kekalahan politik dan Dukuh Paruk porak poranda
dibakar orang-orang tak dikenal. Keadaan Dukuh Paruk berubah total. Tidak ada
lagi tabuh calung yang mengiringi pentas ronggeng, tidak ada lagi lelaki yang
hilir mudik meminta ditemani tidurnya oleh ronggeng, dan tidak ada lagi
ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk. Srintil telah ditahan di kota, tanpa sebab
yang ia pahami. Dukuh Paruk menjadi pedukuhan sepi tanpa gairah dan harapan.
Harga diri dukuh itu direnggut karena peristiwa politik yang mereka tidak
tahu-menahu sama sekali. Dukuh Paruk kalah pada pertempuran yang sama sekali
mereka tak mengerti sebab-musababnya.
Cerita
berlanjut pada Srintil yang sudah tidak lagi diinggapi inang ronggeng dan ingin
menjadi wanita seutuhnya. Kejadian yang tak terlupakan selama di penjara
membuatnya enggan untuk menjadi pelayan para lelaki. Yang ia inginkan hanya
menjadi perempuan seutuhnya yang setia pada seorang lelaki dan hidup mengabdi sebagai
seorang ibu rumah tangga. Harapan itu sempat terbesit ketika Rasus kembali
sejenak ke Dukuh Paruk untuk menengok kampung halamannya. Srintil berharap
Rasus, cinta sejak kecilnya, mau menjadi abdi hidupnya. Namun nasib berkata
lain, Rasus harus pergi ke Kalimantan menjalankan tugas dan menolak untuk
mengawini Srintil, karena pada saat itu konsekuensi menikahi bekas tahanan
politik adalah dipecat dari kesatuan tentara dan dikucilkan dari pergaulannya.
Rasus pun kembali pergi meninggalkan harapan yang lagi-lagi semu dan kembali
menorehkan luka yang sangat mendalam pada Srintil.
Setelah
Rasus, kemudian datanglah Bajus, seorang kontraktor pemerintah yang tengah
bertugas di daerah Dawuan. Dengan gagah dan bijaksana, Bajus datang sebagai
seorang lelaki idaman Srintil yang tidak mendahulukan nafsu dan berahinya
sebagai lelaki. Lebih dari itu, Bajus hadir sebagai jelmaan lelaki bijaksana
yang hendak berbuat serius kepada Srintil, yaitu mengawini Srintil. Datang
dalam kondisi tersebut, hati Srintil berbunga-bunga karena hendak diajak kawin
oleh orang kota Jakarta, Bajus. Segala kerendahan hati dan perhatian tanpa
pamrih adalah kemewahan bagi Srintil yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Bajus
menjadi harapan baru setelah berkali-kali Srintil dikecewakan oleh keadaan.
Namun akhirnya naas ternyata cinta Srintil bertepuk sebelah tangan. Bajus tidak
berniat untuk mengawini Srintil, dan bahkan jahatnya lagi Bajus menjual Srintil
kepada atasannya. Ini membuat Srintil hancur berkeping-keping. Hancur
sehancur-hancurnya, hingga nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Srintil
selama ini rusak dan jatuh se dalam-dalamnya. Dengan tatapan kosong dan hampa,
Srintil kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan rusak. Bukan rusak secara fisik,
namun rusak secara jiwa. Srintil menjadi manusia dengan naluri hewani. Tidak
dapat berpikir jernih dan bahkan hingga kedapatan terganggu jiwanya. Ronggeng
kebanggaan Dukuh Paruk rusak oleh kekecewaan berat dan harapan yang berkali-kali
dirusak oleh keadaan.
Srintil
kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan kecewa dan rusak. Akal sehat dan nilai
kemanusiaannya rusak oleh kejadian sedih yang menimpanya bertubi-tubi. Mulai
dari perginya tambatan hati, terperosoknya ia kedalam konflik politik yang
tidak dimengertinya sama sekali, sekali lagi dikecewakan oleh harapan yang
datang, hingga jiwanya dihancurkan berkeping-keping oleh lelaki yang ia kira
dapat memenuhi hasrat terpendamnya selama ini, menjadi wanita seutuhnya.
Srintil menjadi ironi yang tak mudah dilupa oleh sejarah-sejarah Dukuh Paruk,
dan pedukuhan tersebut kembali menjadi pedukuhan tanpa harga diri dan
kewibawaan dengan ketiadaan tabuh calung dan ronggeng di antara mereka.
1 Januari 2018
Bandung
0 komentar