Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis        : Ahmad Tohari Penerbit      : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan      : XIII, 2017 Tebal          : 408 hala...




Penulis        : Ahmad Tohari
Penerbit      : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : XIII, 2017
Tebal          : 408 halaman
ISBN          : 978-979-22-0196-3

Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa untuk saya. Selain penulis dengan cermat dapat mengejawantahakan maksud dan pikirannya dalam tulisan yang sungguh nyaman dibaca, novel ini menjadi sebuah fenomena yang layak untuk diikuti. Bagaimana tidak, penulis dapat dengan lengkap dan jelas memperlihatkan melalui kata-katanya sebuah kondisi dan situasi di sebuah pedukuhan yang mungkin untuk orang sekarang jarang ditemui. Kondisi primitif yang jauh dari hiruk pikuk kota dan kemewahan, tapi secara lengkap dapat digambarkan. Visualisasi keadaan alam pedesaan yang mendetil, suasana pada tiap bagiannya yang tergambar dengan lengkap, hingga perasaan dan pikiran masyarakat pedesaan dapat tersampaikan dengan lugas di novel ini.
Dalam novel ini saya sebagai orang yang awam dalam dunia sastra, dapat menikmati cerita yang disajikan. Konflik yang pelik dan terhubung dengan keadaan yang sungguh terjadi dalam sejarah disajikan dengan rapih dan tertata. Hal-hal tak terduga dan tak dapat diterka bisa dengan mudahnya digiring dengan penyampaian menarik namun lugas dan tidak bertele-tele. Pembaca seakan dibawa menjadi seorang masyarakat Dukuh Paruk yang terasing, dan ikut dibawa mengalami konflik yang terjadi. Baik konflik antar tokoh, maupun konflik batin setiap tokohnya.
Novel ini mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kelihaian sebuah dukuh yang bersandar pada kepercayaan leluhurnya. Sebuah kondisi yang menggambarkan bagaimana sebuah kesederhanaan pedukuhan “tertinggal” dapat hidup dengan bahagia menurut kepercayaan mereka sendiri. Sayangnya kondisi eksternal yang tidak dipahami oleh masyarakat di sana merusak tata nilai yang sudah lama terbentuk di pedukuhan itu. Peristiwa politik yang sama sekali asing bagi masyarakat pedukuhan, merusak seluruh bentuk kehidupan yang ada di Dukuh Paruk. Konflik yang dibangun mengajarkan bahwa tidak semua orang yang dianggap tersangkut paut pada sebuah peristiwa politik, merupakan aktor yang sesungguhnya.
Selain itu novel ini menjelaskan bagaimana kehalusan jiwa dan perasaan seorang wanita. Srintil sebagai tokoh utama dalam novel ini menggambarkan, bagaimana posisinya sebagai ronggeng yang didamba-dambakan wanita lain sangat dikutuknya. Keinginannya menjadi wanita biasa yang utuh dan dicintai oleh seorang lelaki, tak kunjung terkabul. Srintil dijadikan oleh penulis sebagai korban yang tersisih karena kodrat alam.
Novel ini banyak mengajarkan hal-hal yang mungkin jarang diketahui oleh orang-orang kota terhadap orang-orang pelosok desa. Dari yang paling sederhana seperti suasana pedesaan dan kondisi alam yang ada hingga konflik batin dan pola pemikiran yang hanya dimiliki oleh masyarakat desa, tersaji dengan apik. Ketika membaca novel ini, pembaca seakan dibawa pada suasana tenang pedesaan dan menjadi bagian dari keseharian sederhana masyarakat desa. Penulis berhasil menggiring pembaca menikmati itu semua.
Secara keseluruhan, novel ini dapat dinikmati karena bahasanya yang mudah dimengerti namun lugas dan jelas. Penyajian konflik yang pelik dan tidak terduga menjadi keseruan tersendiri. Terlebih lagi penulis dapat membuat pembaca seakan-akan merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh yang ada pada novel ini. Penulis berhasil menghadirkan dunia Dukuh Paruk pada para pembaca.

Review
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini merupakan gabungan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Trilogi tersebut terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala. Diawali dengan kisah sebuah pedukuhan kecil yang berisi keturunan dari Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang suka merampok dan membunuh, Dukuh Paruk mewarisi sifat-sifat bijak Ki Secamenggala yang insaf karena perlakuan masa lalunya. Dukuh Paruk merupakan pedukuhan terpencil yang begitu kental dengan adat tradisional dan nilai-nilai khusus khas pedukuhan tersebut. Belum masuk pada Dukuh Paruk pengaruh teknologi,  ekonomi, budaya luar, bahkan seluruh penduduknya merupakan orang-orang buta huruf. Mereka berpegang teguh pada nilai-nilai leluhur yang ditinggalkan oleh Ki Secamenggala.
Dukuh Paruk merupakan pedukuhan di kecamatan Dawuan yang begitu terkenal dengan kesenian khas dan sangat dibangga-banggakan oleh seluruh masyarakat Dukuh Paruk, ialah Ronggeng. Ronggeng tidak hanya menjadi sebuah kesenian yang melekat pada nilai-nilai tradisional, lebih dari itu ronggeng merupakan harga diri, kebanggaan, dan jiwa dari Dukuh Paruk. Ronggeng yang lahir dari rahim Dukuh Paruk akan menjadi simbol berharga dan sangat bernilai bagi dukuh tersebut. Seluruh masyarakat akan berbondong-bondong merawat dan mengurus harta berharga daerah tersebut. Tanpa ronggeng, Dukuh Paruk hanyalah sebuah wilayah kosong yang terasing dan tak bernilai.
Setelah 12 tahun ditinggal ronggeng terakhir di pedukuhan tersebut, lahirlah Srintil gadis kecil yang dipercaya dirasuki inang ronggeng sehingga membuat anak tersebut menjadi ronggeng seutuhnya. Menjadi kebanggan Dukuh Paruk, sebuah harga diri yang dibangga-bangga kan oleh seluruh masyarakat pedukuhan tersebut. Srintil merupakan seorang Yatim-Piatu yang ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya karena sebuah malapetaka tempe bongkrek ketika Srintil berumur 3 bulan.  Setelah itu Srintil pun tinggal bersama kedua kakek-neneknya hingga besar. Setelah diketahui bakat Srintil, seorang dukun ronggeng bernama Kertareja langsung mengangkatnya menjadi anak. Diasah olehnya hingga Srintil benar-benar menjadi ronggeng yang sesungguhnya.
Dalam novel ini diceritakan pula Rasus, seorang pemuda seumuran Srintil yang menjadi teman main Srintil semenjak kecil. Rasus pun merupakan seorang Yatim-Piatu yang ditinggal kedua orang tuanya karena malapetaka tempe bongkrek. Dia tinggal bersama Neneknya di sebuah gubuk kecil. Rasus merupakan tambatan hati Srintil, yang merupakan seorang ronggeng. Dalam adat yang ada, ronggeng merupakan pemilikan semua lelaki yang ada. Dan ronggeng tidak boleh memiliki ikatan secara pribadi terhadap seseorang lelaki. Itulah yang disesalkan Rasus. Srintil yang menjadi teman sejak kecilnya, merupakan jelmaan Emak Rasus yang mati karena malapetaka tempe bongkrek. Perasaan itu terus berlanjut hingga mereka dewasa. Kenyataan bahwa Srintil merupakan seorang ronggeng tidak bisa diterima oleh Rasus, dan pada akhirnya jelmaan Emaknya tersebut harus direlakan olehnya. Sebuah kenyataan yang begitu menyayat hati, dari seorang anak yang merindukan pelukan dan kasih sayang seorang ibu, harus hancur karena jelmaan yang selama ini ia bayangkan merupakan kepemilikan seluruh lelaki.
Novel ini mengisahkan tentang gairah Dukuh Paruk setelah hidup kembalinya kesenian ronggeng yang diwujudkan dalam diri seorang Srintil. Sebagai ronggeng yang berbakat dan dianugerahi wajah cantik jelita, tak ada lelaki yang tidak luruh akan pesona Srintil. Seluruh pria dari penjuru dusun, kelurahan, dan kecamatan berbondong-bondong datang untuk dapat menikmati pesona Srintil, ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk. Srintil pun begitu menikmati posisinya sebagai ronggeng. Hingga sebuah kejadian merubah cara pandang hidupnya.
Rasus yang sedari kecil hidup dekat dengan Srintil, perlahan tersingkir karena Srintil telah menjadi ronggeng pujaan semua orang. Karena hal itu, akhirnya dia menyingkir dan pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk bekerja di pasar Dawuan. Dalam sebuah kejadian, Rasus bertemu satu regu tentara yang sedang bertugas di sana, dan dijadikanlah Rasus sebagai kacung para tentara tersebut. Dalam sebuah perburuan kelompok perampok yang meresahkan kecamatan Dawuan, Rasus menjadi pahlawan setelah dapat mematikan sekelompok perampok dengan tangannya sendiri. Atas jasanya tersebut, ia dipromosikan untuk menjadi seorang prajurit dengan syarat mengikuti pelatihan. Keadaan ini menjadikan Rasus yang awalnya bukan apa-apa berubah layaknya seorang pahlawan gagah berani, setidaknya untuk Dukuh Paruk. Kondisi seperti ini pula lah yang membuat Srintil tergugah hatinya dan kembali pada tambatan hatinya, Rasus. Namun kekecewaan Rasus terhadap kondisi Srintil sebagai ronggeng menampikan kondisi tersebut. Rasus harus pergi meninggalkan Dukuh Paruk, juga meninggalkan luka yang sangat mendalam untuk Srintil. Semenjak saat itu Srintil tidak bergairah untuk menjadi seorang ronggeng yang menarik nafsu birahi para lelaki, bahkan untuk sekedar tampil pentas di depan banyak orang.
Diceritakan selanjutnya Srintil diundang untuk mengisi sebuah pementasan tingkat kecamatan, dalam rangka memeringati hari kemerdekaan. Karena datangnya dari kecamatan, dibanding sebagai tawaran pentas ini lebih jauh datang sebagai perintah. Mau tak mau, Srintil harus tampil meronggeng agar terhindar dari hukuman yang ada. Namun setelah peronggengan inilah yang merubah kondisi Srintil sebagai ronggeng, tim musik ronggeng yang mengirinya, hingga Dukuh Paruk seluruhnya. Pergolakan politik yang terjadi membuat Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa terseret pada keadaan politik di Indonesia. Naas terjadi Dukuh Paruk terseret kedalam konflik dan dituduh ada di posisi pihak yang kalah. Hal ini sangat berdampak pada kondisi Dukuh Paruk, terutama kelompok pentas ronggeng dan yang paling utama Srintil. Dukuh Paruk dituduh sebagai organ dari ideologi terlarang dan ronggeng Dukuh Paruk dituduh menjadi alat propagandanya. Hal ini memaksa seluruh petua dan kelompok seni ronggeng diringkuh dalam penjara. Sebagian besar ditahan selama dua minggu, kecuali Srintil. Srintil dipaksa mendekap selama dua tahun dalam penjara, dengan tuduhan yang sama sekali tidak diketahuinya. Perisitiwa inilah yang mengubah Dukuh Paruk seutuhnya.
Setelah Dukuh Paruk hancur akibat kekalahan politik dan Dukuh Paruk porak poranda dibakar orang-orang tak dikenal. Keadaan Dukuh Paruk berubah total. Tidak ada lagi tabuh calung yang mengiringi pentas ronggeng, tidak ada lagi lelaki yang hilir mudik meminta ditemani tidurnya oleh ronggeng, dan tidak ada lagi ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk. Srintil telah ditahan di kota, tanpa sebab yang ia pahami. Dukuh Paruk menjadi pedukuhan sepi tanpa gairah dan harapan. Harga diri dukuh itu direnggut karena peristiwa politik yang mereka tidak tahu-menahu sama sekali. Dukuh Paruk kalah pada pertempuran yang sama sekali mereka tak mengerti sebab-musababnya.
Cerita berlanjut pada Srintil yang sudah tidak lagi diinggapi inang ronggeng dan ingin menjadi wanita seutuhnya. Kejadian yang tak terlupakan selama di penjara membuatnya enggan untuk menjadi pelayan para lelaki. Yang ia inginkan hanya menjadi perempuan seutuhnya yang setia pada seorang lelaki dan hidup mengabdi sebagai seorang ibu rumah tangga. Harapan itu sempat terbesit ketika Rasus kembali sejenak ke Dukuh Paruk untuk menengok kampung halamannya. Srintil berharap Rasus, cinta sejak kecilnya, mau menjadi abdi hidupnya. Namun nasib berkata lain, Rasus harus pergi ke Kalimantan menjalankan tugas dan menolak untuk mengawini Srintil, karena pada saat itu konsekuensi menikahi bekas tahanan politik adalah dipecat dari kesatuan tentara dan dikucilkan dari pergaulannya. Rasus pun kembali pergi meninggalkan harapan yang lagi-lagi semu dan kembali menorehkan luka yang sangat mendalam pada Srintil.
Setelah Rasus, kemudian datanglah Bajus, seorang kontraktor pemerintah yang tengah bertugas di daerah Dawuan. Dengan gagah dan bijaksana, Bajus datang sebagai seorang lelaki idaman Srintil yang tidak mendahulukan nafsu dan berahinya sebagai lelaki. Lebih dari itu, Bajus hadir sebagai jelmaan lelaki bijaksana yang hendak berbuat serius kepada Srintil, yaitu mengawini Srintil. Datang dalam kondisi tersebut, hati Srintil berbunga-bunga karena hendak diajak kawin oleh orang kota Jakarta, Bajus. Segala kerendahan hati dan perhatian tanpa pamrih adalah kemewahan bagi Srintil yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Bajus menjadi harapan baru setelah berkali-kali Srintil dikecewakan oleh keadaan. Namun akhirnya naas ternyata cinta Srintil bertepuk sebelah tangan. Bajus tidak berniat untuk mengawini Srintil, dan bahkan jahatnya lagi Bajus menjual Srintil kepada atasannya. Ini membuat Srintil hancur berkeping-keping. Hancur sehancur-hancurnya, hingga nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Srintil selama ini rusak dan jatuh se dalam-dalamnya. Dengan tatapan kosong dan hampa, Srintil kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan rusak. Bukan rusak secara fisik, namun rusak secara jiwa. Srintil menjadi manusia dengan naluri hewani. Tidak dapat berpikir jernih dan bahkan hingga kedapatan terganggu jiwanya. Ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk rusak oleh kekecewaan berat dan harapan yang berkali-kali dirusak oleh keadaan.
Srintil kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan kecewa dan rusak. Akal sehat dan nilai kemanusiaannya rusak oleh kejadian sedih yang menimpanya bertubi-tubi. Mulai dari perginya tambatan hati, terperosoknya ia kedalam konflik politik yang tidak dimengertinya sama sekali, sekali lagi dikecewakan oleh harapan yang datang, hingga jiwanya dihancurkan berkeping-keping oleh lelaki yang ia kira dapat memenuhi hasrat terpendamnya selama ini, menjadi wanita seutuhnya. Srintil menjadi ironi yang tak mudah dilupa oleh sejarah-sejarah Dukuh Paruk, dan pedukuhan tersebut kembali menjadi pedukuhan tanpa harga diri dan kewibawaan dengan ketiadaan tabuh calung dan ronggeng di antara mereka.

1 Januari 2018
Bandung

You Might Also Like

0 komentar