Arus Balik (Resensi)
05:51:00
Penerbit : Hasta Mitra
Cetakan : I, Agustus 1995
Tebal : 760 halaman
ISBN : 979-8659-04-x
Seperti biasa Pramoedya selalu ‘menyentak’
para pembaca dengan karya-karyanya yang legendaris. Arus Balik menjadi satu
contoh bagaimana ia bercerita tentang sejarah nusantara yang pernah berjaya
sebagai peradaban maju diantara negeri-negeri di dunia lewat kejayaan
Majapahit. Lewat jalur kemaritiman lah Majapahit dapat bercerita bagaimana
sebuah kejayaan atas negeri Atas Angin dapat dikuasai dengan tersebarnya
pengaruh, citra, budaya, dan perdagangan. Hal ini digambarkan oleh Pram dengan
arus yang bergerak dari penjuru selatan (Nusantara) ke arah utara (Atas Angin).
Hal ini terus berlangsung ketika Majapahit dapat menguasai perairan nusantara
dengan kegagahan armada maritimnya yang dipersenjatai cetbang yang terkenal
kemahsyurannya serta kesatuan nusantara atas sumpah palapa yang terkenal dari
mahapatih gajah madanya. Namun segala kejayaan tersebut perlahan runtuh ketika
majapahit hancur karena kerusakan dari pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
di dalamnya. Hal ini menyebabkan kemerosotan hingga memutar balikan keadaan
nusantara menjadi alas kaki negeri atas angin. Hal ini digambarkan oleh Pram dengan
berubahnya arus dari selatan ke utara menjadi utara ke selatan.
Dalam novel sejarah ini kita diajak
menyelami bagaimana kesusahan yang terjadi ketika nusantara terpecah belah
menjadi kerajaan-kerajaan kerdil dan kapal-kapal majapahit yang mahsyur karena
megahnya ikut mengecil mengikuti mengerdilnya kerajaan-kerajaan yang ada.
Pembaca pada awal mula dibawa menuju pedalaman Tuban yang menjadi tempat utama
berjalannya cerita Arus Balik ini.
Dikisahkan seorang bijak bernama Rama
Cluring yang berkelana berkeliling desa untuk bercerita tentang kemahsyuran
Majapahit dengan kapal-kapalnya serta cerita arus selatan-utara mendatangi
sebuah desa bernama Awis Krambil. Dalam ceritanya ia mengutuk tentang
perpecahan yang menjadikan Majapahit runtuh dan berbaliknya arus menjadi
selatan-utara. Karena pengaruh kekuasaan Tuban dan ketakutan penduduk desa akan
prajurit-prajurit Tuban, cerita Rama Cluring dianggap mereka sebagai satu
malapetaka yang akan membuat desa mereka dihancurkan oleh para prajurit Tuban.
Maka Rama Cluring dikucilkan oleh penduduk desa dan diusirnya dari desa Awis
Krambil. Namun ada sepasang muda yang setia mendengarkan Rama Cluring, mereka
adalah Galeng dan Idayu, yang kelak akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini.
Galeng adalah pemuda desa yang ahli dalam bergulat, bahkan telah memenangi
kejuaran gulat yang diadakan kerajaan Tuban. Idayu tak kalah hebat, ia adalah
pemegang juara bertahan penari seantero Tuban, konon tak ada yang bisa
mengalahkannya dalam hal menari maupun kecantikan, seantero Tuban!
Singkat cerita Galeng dan Idayu kembali
mengikuti kejuaraan gulat dan tari di Tuban mewakili desa Awis Krambil.
Kemenangan ditangan mereka dan mereka dihadiahi pernikahan mewah oleh kerajaan
Tuban. Sekaligus Galeng diterima sebagai pegawai kerajaan Tuban untuk mengurusi
adipati Tuban.
Galeng diamanahi sebagai syahbandar-muda
membantu Thalib Sungkar Az-Zubaid, peranakan Moro, Syahbandar Tuban
menggantikan Rangga Iskak. Rangga Iskak kelak setelah terusir dari Tuban
menjadi Kiai Benggala atau Sunan Rajeg, pemberontak Tuban yang berambisi
membalas dendamnya pada Tuban karena telah mengusirnya dari Kesyahbandaran.
Idayu mengikuti suaminya tinggal dalam Kesyahbandaran bersama syahbandar Tuban.
Pada cerita ketika Galeng meninggalkan idayu untuk menumpas pemberontakan oleh
Sunan Rajeg, syahbandar Tuban, Thalib Sungkar Az-Zubaid, membius idayu dan
menyetubuhinya hingga Idayu mengandung. Hal ini diketahui Galeng dan membuat
Idayu hina diri hingga meminta suaminya untuk membunuh ia dan bayi yang lahir
dari rahimnya. Namun karena cinta Galeng pada Idayu akhirnya ia tidak membunuh
istrinya melainkan merawat anak itu hingga besar.
Ketika Galeng sedang berusaha menumpas
pemberontakan Sunan Rajeg, terjadi kegaduhan yang menyebabkan ia membunuh
Senapati Tuban dan mengikrarkan dirinya sebagai Senapati Tuban yang baru. Atas
kecerdikannya dalam berperang melawan pemberontak Sunan Rajeg akhirnya ia dapat
menumpas pemberontakan tersebut.
Sebelumnya terjadi peristiwa bahwa Malaka
telah berhasil direbut oleh Peranggi, negeri atas angin yang berambisi
menguasai dunia. Peranggi mahsyur dan terkenal karena kapal-kapalnya serta
senjata yang mereka punyai yaitu meriam. Diceritakan cetbang yang membawa
Majapahit pada kemahsyuran pun berlutut pada meriam milik Peranggi. Karena keserakahan
dan ancaman Peranggi terhadap Nusantara akhirnya dari kerajaan Demak melalui
musafir-musafirnya menyiarkan kabar untuk persatuan Nusantara dalam melawan
Malaka. Adipati Unus Jepara lah yang bermaksud untuk mengusir Peranggi dari
Malaka, dari Nusantara. Usaha pertamanya mengalami kegagalan karena meriam
Peranggi dan yang paling utama berkhianatnya Adipati Tuban kepada Demak dengan
telat mengirim pasukannya saat menggempur Malaka. Hal ini menyebabkan Adipati
Unus Jepara luka parah terkena serpihan cetbangnya sendiri.
Singkat cerita Adipati Demak, Adipati
Patah meninggal dunia dan digantikan oleh Adipati Unus Jepara. Masih dalam
pendiriannya bahwa untuk memperbaiki Nusantara satu-satu jalan adalah menghalau
Peranggi dari Malaka ia menyerukan seluruh kerajaan di Nusantara untuk bersatu
melawan Peranggi. Ia dirikan galangan besar di Jepara untuk menghasilkan
kapal-kapal perang besar. Kurang lebih 70 buah kapal perang yang disiapkan
untuk menghalau Peranggi dari Malaka.
Naas sebelum hal itu terwujud, Adipati
Unus wafat dibunuh oleh saudara kandungnya sendiri Sultan Trenggono. Sultan
Trenggono lebih bernafsu untuk menguasai Jawa daripada menghalau Peranggi dari
Malaka. Maka seluruh kekuatan yang telah dibangun pada zaman Adipati Unus
dialihkan untuk menguasai Jawa dengan bantuan Sultan Fatahillah, pangeran Pasai
yang terbuang ketika Pasai jatuh ketangan Peranggi. Karena kerakusan ini Demak
tidak lagi dipercaya oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara dan bantuan dari
mereka tak lagi datang pada kerajaan Demak. Ditambah lagi pengkhianatan Demak
terhadap gabungan pasukan Aceh-Tuban-Makasar yang sudah berjalan menuju Malaka.
Saat itu Demak malah berbelok untuk menguasai Pajajaran dan Sunda Kelapa yang
ada di Jawa sebelah Barat. Dalam kisahnya Sultan Fatahillah yang berhasil
menguasai Sunda Kelapa dan menghalau Peranggi dari sana menamai daerah tersebut
menjadi Jayakarta.
Demak semakin mendesak Jawa dan mulai
mengarah ke Timur Jawa. Tuban menjadi target utama karena pada saat itu Tuban
menjadi bandar besar yang penting pada pelayaran di Jawa Timur. Maka
penyerangan dilaksanakan, Demak berhasil menguasai Tuban dan Adipati Tuban
wafat tepat sebelum Demak menguasai Tuban. Hanya dalam beberapa hari Tuban
mampu membalikan keadaan melalui Patihnya. Namun disaat Tuban telah kelelahan
menghalau Demak dari daerah kekuasaannya, Peranggi datang dan mengusir Tuban
hingga pergi dari tanahnya sendiri.
Disaat inilah Galeng yang telah
dianugerahi gelar Senapati Wiranggaleng melancarkan serangan balasan dengan
siasat baru yang belum pernah dilakukan selama peperangan yang ada di Jawa,
menyerang ketika malam hari. Penyerangan itu sukses dan Tuban kembali di tangan
kerajaan Tuban. Hal ini menjadi kemenangan bagi penduduk serta prajurit Tuban.
Tuban yang dalam keadaan kekosongan
kekuasaan menginginkan Senapati Wiranggaleng menjadi Adipati Tuban, namun dia
menolak. Lalu ia mengucapkan kata-kata mahsyur yang ia dapat dari gurunya Rama
Cluring.
“Dahulu, di jaman kerajaan
Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari antara bangsa-bangsa
beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan
perbuatannya, cita-citanya-semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya
datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat
kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya,
kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan
kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang
ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa,
termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita
akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”
Karena kesadaran akan ketidak-mampuanya ia
hanya menitipkan pesan tersebut kepada para kepala prajurit Tuban. Ia
menyangsikan bahwa kemenangan Tuban mengusir Peranggi bukanlah sebuah
kemenangan yang sesungguhnya. Namun mengusir Peranggi dari Malaka, dari
Nusantara adalah sebuah kemenangan yang sesungguhnya dan ia tidak menyanggupi hal
tersebut. Ia menekankan hal tersebut kepada para kepala prajuritnya, dan jika
hal itu tidak tercapai selamanya Nusantara akan berada dalam kuasa negeri Atas
Angin tersebut. Wiranggaleng pergi ke pedalaman bersama istrinya Idayu serta
anak aslinya Kumbang. Ia menjadi sesuatu yang diimpikan bersama istrinya selama
ini, petani yang tenang menjalani hidup apa adanya tanpa ada kegusaran akan
dunia. Namun pada lubuk hatinya, Galeng tetap menyimpan perasaan tidak nyaman
akan keberadaan Peranggi di Nusantara dan pengusiran dari Malaka adalah suatu
hal yang harus.
Arus Balik mengajari kita bagaimana
kekuatan maritim adalah kunci utama Nusantara dapat berjaya, membawa arus
selatan ke utara. Persatuan Nusantara dalam satu bendera juga menjadi hal
mutlak untuk mewujudkan hal tersebut. Keserakahan Sultan Trenggono untuk
menguasai Jawa adalah pelajaran bahwa keserakahan malah akan membikin
kehancuran pada diri sendiri.
Pram menyajikan novelnya sungguh baik,
hampir lengkap bahkan. Dengan detil cerita serta konflik antar tokoh yang
membuat rasa penasaran terus membuncah, serta bumbu-bumbu pengkhianatan hingga
cinta yang ada membuat Arus Balik tidak hanya menjadi Novel Sejarah Nusantara
namun menjadi satu Novel yang menceritakan bagaimana kehidupan pada zaman itu.
Adat-adat setempat yang ada serta masuknya pengaruh agama baru dalam tatanan
masyarakat disajikan dengan rapih. Arus Balik menceritakan semua itu, membuat
karya legendaris Pram ini wajib dibaca oleh masyarakat Indonesia, terkhusus
generasi mudanya.
Nusantara yang dulu menjadi hulu dunia,
berbalik menjadi hilir karena perpecahan dan kelupaannya terhadap kekuatan
maritim yang begitu penting, menjadi ‘tamparan’ bagi Indonesia sekarang.
Intisari Arus Balik sesuai dengan apa yang terjadi saat ini dan harus bisa
menjadi pelajaran yang berharga untuk Indonesia. Dan pertanyaannya adalah
akankah Nusantara terus menjadi hilir dunia ataukah Arus akan berbalik kembali
dari Selatan menuju Utara?
16 Januari 2017
Lampung
1 komentar
Tujuh belas tahun yang lalu saya baca buku ini, dan sekarang saya mengulang membaca buku ini. Pesan-pesan di dalam buku ini memang masih akurat sampai sekarang.
ReplyDelete