Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuji

Penulis             : Tim TEMPO Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Cetakan           : I, Maret 2015 ISBN    ...


Penulis             : Tim TEMPO
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan           : I, Maret 2015
ISBN               : 978-602-424-216-9

Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa, lahir dengan semangat untuk memperingati 100 Tahun hari lahirnya para pendiri bangsa Indonesia (Soekarno, Hatta, dan Syahrir). Berlanjut dari menulis empat tokoh proklamasi (Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka), ditulis pula oleh tim penulis riwayat tentang Muhammad Yamin. Dalam menyusun tulisan tentang Muhammad Yamin ini, tim TEMPO mengambil data dari sumber primer dan sekunder terpercaya, seperti ulasan Restu Gunawan dalam Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Sutrisno Kuyoto dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin S.H., serta mendatangi beberapa tempat bersejarah yang berkaitan langsung dengan kehidupan M.Yamin. Dalam penulisan buku ini tidak digunakan metodologi sejarah yang ketat seperti para sejarawan, namun digunakan pendekatan jurnalistik dengan verifikasi yang tepat.

Dalam buku ini diulas mengenai kehidupan M.Yamin sedari kecil di tanah minang, perpindahannya ke Jawa untuk mengejar sekolah, karir organisasi hingga politik, kehidupan keluarga, proses perumusan UUD dan lambang negara, hingga hari wafat serta peninggalan-peninggalan yang kini dimuseumkan oleh pemerintah. Kehidupan M.Yamin yang penuh dengan kontroversi karena kasus salinan naskah UUD 1945 dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 serta kontroversi mengenai penggambaran wajah gajah mada yang digunakan masyarakat luas hingga saat ini. Namun dibalik segala kontroversi dalam kehidupan M.Yamin, beliau adalah negarawan besar yang memberikan sumbangsih yang banyak terhadap Indonesia.

Dalam buku ini bermula dengan cerita kehidupan M.Yamin di Sumatera Barat. Anak penggila buku (yang bisa menghabiskan 200 halaman buku dalam sehari) ini adalah penyuka sastra dan hukum. Pendidikannya di Bogor yang mempelajari tentang pertanian dianggapnya kurang menarik lalu pindah ke AMS (Algemen Middlebare School) di jantung Pulau Jawa, Solo. Di AMS, beliau mempelajari tentang kebudayaandan sejarah kesenian, serta sastra Jawa dan Melayu. Ketertarikannya terhadap sastra sudah bisa diliat sejak masih belia. Pada umur 17 tahun, M.Yamin menuliskan karya sastranya yang melegenda belakangan berjudul Tanah Air. Dikisah juga mengenai kegiatan berorganisasi beliau sejak dini. Tergabung dalam Jong Sumatranen Bond, M.Yamin aktif berorganisasi hingga menjadi salah satu tokoh penting dalam Kongres Pemuda I dan II. Bahkan dalam Kongres Pemuda II, beliau adalah satu tokoh penting yang menelurkan butir-butir Sumpah Pemuda, terutama tentang bahasa persatuan (karena kelebihannya dalam sastra).
                                                            
Perjalanan M.Yamin yang penuh kontroversi diulas dalam buku ini. Pertama mengenai pengakuannya terhadap susunan UUD 1945 yang disusun olehnya dari lampiran yang terdapat dalam naskah pidatonya di sidang BPUPKI. Beliau berpendapat bahwa naskah UUD 1945 adalah hasil perundingan terhadap naskah yang ia buat  sendiri, namun hal ini tidak tercatat karena dokumentasi sidang BPUPKI tidak ditemukan. Kedua mengenai berlangsungnya sidang BPUPKI tentang perumusan dasar negara. Dalam kejadian sesungguhnya terdapat 30 orang yang berpidato mengenai gagasan dasar negara Indonesia, namun ia menuliskan dalam bukunya hanya 3 orang yang berpidato dalam sidang tersebut. Ketiga tentang penggambaran wajah Gajah Mada, yang hingga kini digunakan sebagai rujukan buku-buku pelajaran. Beliau mengatakan mengambil gambaran wajahnya dari artefak yang dilihatnya di salah satu tempat peninggalan Majapahit. Hal ini dipertentangkan oleh para sejarawan mengenai kebenaran wajah Gajah Mada, bahkan ada yang berpendapat M.Yamin menggambarkan wajah Gajah Mada menyerupai wajahnya sendiri. Hal ini tidak aneh mengingat M.Yamin adalah seorang penggila kejayaan masa lalu, tertama Kerajaan Majapahit. Dari beberapa kontroversi yang ada pada kehidupan M.Yamin, bahkan hingga membuat M.Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia) yang terkenal sopan, mengatakan bahwa M.Yamin adalah seorang yang licik.

Kecintaannya terhadap Indonesia sudah dimualai sejak beliau masih usia dini. Sajak-sajaknya yang sebelumnya bertajuk persatuan kedaerahan (terutama Sumatra, tempat kelahirannya) akhirnya berubah menjadi persatuan Indonesia. Pria yang tergila-gila akan kebudayaan Jawa ini, mengalami pengalaman politik yang berliku-liku. Menjabat mulai dari Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dan Menteri Kehakiman, hingga masuk kedalam penjara pernah ia lalui. Kiprahnya dalam pengabdian untuk Indonesia sangatlah besar, perguruan tinggi keguruan pertama di Indonesia (yang belakangan menjadi IKIP) adalah gagasan beliau. Usulan dasar negara juga bahasa persatuan adalah hasil karya beliau. Dalam dunia sastra, peran besar beliau adalah dengan memperkenalkan soneta pada dunia sastra Indonesia. Saat sastrawan Indonesia lain tergila-gila dengan kesusastraan India, beliau memilih jalan lain dengan mendalami romantisisme sastra eropa.

Mengenai kehidupan berkeluarganya, M.Yamin tidak banyak diceritakan. Istri beliau adalah aktivis Keputri Indonesia Muda, organisasi kewanitan Indonesia Muda. Di rumah M.Yamin adalah sosok pendiam, begitu pula istrinya. M.Yamin memiliki satu anak kandung dan satu angkat. Ada cerita menarik tentang hubungan beliau dengan HAMKA, salah satu negarawan Indonesia yang berhaluan islam. Mereka banyak berdebat dalam forum publik juga media, dimulai dari perbedaan pendapat mereka mengenai dasar negara. Buya HAMKA berpendapat tentang islam sebagai dasar negara, sedangkan M.Yamin bersikukuh pada pancasila. Pertentangan mereka berakhir sesaat ketika M.Yamin akan wafat. Beliau meminta maaf kepada HAMKA beberapa saat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Pada proses pemandian jenazah dan yang mengimami shalat jenazahnya adalah M.Yamin. Beliau dimakamkan di tanah kelahiranya, berdampingan dengan makam ayahnya di Talawi.

Kisah hidup negarawan besar seperti Muhammad Yamin menarik untuk ditelusuri. Kebiasaan baca dan menulis hingga melahirkan 44 judul buku, kontroversi dalam hidupnya, lika-liku perjuangan, hingga hubungannya dengan negarawan lain memberi pelajaran penting, bagaimana negara ini didirakan dengan perjuangan, darah, dan air mata. Mempelajari perjuangan masa lalu penting untuk bisa direfleksikan pada kehidupan bernegara saat ini.

16.44, 04 Juli 2017

Majalengka

You Might Also Like

0 komentar