Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuji
06:56:00
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan :
I, Maret 2015
ISBN :
978-602-424-216-9
Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa,
lahir dengan semangat untuk memperingati 100 Tahun hari lahirnya para pendiri
bangsa Indonesia (Soekarno, Hatta, dan Syahrir). Berlanjut dari menulis empat
tokoh proklamasi (Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka), ditulis pula oleh tim
penulis riwayat tentang Muhammad Yamin. Dalam menyusun tulisan tentang Muhammad
Yamin ini, tim TEMPO mengambil data dari sumber primer dan sekunder terpercaya,
seperti ulasan Restu Gunawan dalam Muhammad
Yamin dan Cita-cita Persatuan, Sutrisno Kuyoto dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin S.H., serta
mendatangi beberapa tempat bersejarah yang berkaitan langsung dengan kehidupan
M.Yamin. Dalam penulisan buku ini tidak digunakan metodologi sejarah yang ketat
seperti para sejarawan, namun digunakan pendekatan jurnalistik dengan
verifikasi yang tepat.
Dalam buku ini diulas mengenai
kehidupan M.Yamin sedari kecil di tanah minang, perpindahannya ke Jawa untuk
mengejar sekolah, karir organisasi hingga politik, kehidupan keluarga, proses
perumusan UUD dan lambang negara, hingga hari wafat serta peninggalan-peninggalan
yang kini dimuseumkan oleh pemerintah. Kehidupan M.Yamin yang penuh dengan
kontroversi karena kasus salinan naskah UUD 1945 dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
serta kontroversi mengenai penggambaran wajah gajah mada yang digunakan
masyarakat luas hingga saat ini. Namun dibalik segala kontroversi dalam
kehidupan M.Yamin, beliau adalah negarawan besar yang memberikan sumbangsih
yang banyak terhadap Indonesia.
Dalam buku ini bermula dengan
cerita kehidupan M.Yamin di Sumatera Barat. Anak penggila buku (yang bisa
menghabiskan 200 halaman buku dalam sehari) ini adalah penyuka sastra dan hukum.
Pendidikannya di Bogor yang mempelajari tentang pertanian dianggapnya kurang
menarik lalu pindah ke AMS (Algemen Middlebare School) di jantung Pulau Jawa,
Solo. Di AMS, beliau mempelajari tentang kebudayaandan sejarah kesenian, serta
sastra Jawa dan Melayu. Ketertarikannya terhadap sastra sudah bisa diliat sejak
masih belia. Pada umur 17 tahun, M.Yamin menuliskan karya sastranya yang
melegenda belakangan berjudul Tanah Air.
Dikisah juga mengenai kegiatan berorganisasi beliau sejak dini. Tergabung dalam
Jong Sumatranen Bond, M.Yamin aktif berorganisasi hingga menjadi salah satu
tokoh penting dalam Kongres Pemuda I dan II. Bahkan dalam Kongres Pemuda II,
beliau adalah satu tokoh penting yang menelurkan butir-butir Sumpah Pemuda,
terutama tentang bahasa persatuan (karena kelebihannya dalam sastra).
Perjalanan M.Yamin yang penuh
kontroversi diulas dalam buku ini. Pertama mengenai pengakuannya terhadap
susunan UUD 1945 yang disusun olehnya dari lampiran yang terdapat dalam naskah
pidatonya di sidang BPUPKI. Beliau berpendapat bahwa naskah UUD 1945 adalah
hasil perundingan terhadap naskah yang ia buat
sendiri, namun hal ini tidak tercatat karena dokumentasi sidang BPUPKI
tidak ditemukan. Kedua mengenai berlangsungnya sidang BPUPKI tentang perumusan
dasar negara. Dalam kejadian sesungguhnya terdapat 30 orang yang berpidato
mengenai gagasan dasar negara Indonesia, namun ia menuliskan dalam bukunya
hanya 3 orang yang berpidato dalam sidang tersebut. Ketiga tentang penggambaran
wajah Gajah Mada, yang hingga kini digunakan sebagai rujukan buku-buku pelajaran.
Beliau mengatakan mengambil gambaran wajahnya dari artefak yang dilihatnya di
salah satu tempat peninggalan Majapahit. Hal ini dipertentangkan oleh para
sejarawan mengenai kebenaran wajah Gajah Mada, bahkan ada yang berpendapat
M.Yamin menggambarkan wajah Gajah Mada menyerupai wajahnya sendiri. Hal ini
tidak aneh mengingat M.Yamin adalah seorang penggila kejayaan masa lalu,
tertama Kerajaan Majapahit. Dari beberapa kontroversi yang ada pada kehidupan
M.Yamin, bahkan hingga membuat M.Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia) yang
terkenal sopan, mengatakan bahwa M.Yamin adalah seorang yang licik.
Kecintaannya terhadap Indonesia
sudah dimualai sejak beliau masih usia dini. Sajak-sajaknya yang sebelumnya
bertajuk persatuan kedaerahan (terutama Sumatra, tempat kelahirannya) akhirnya
berubah menjadi persatuan Indonesia. Pria yang tergila-gila akan kebudayaan Jawa
ini, mengalami pengalaman politik yang berliku-liku. Menjabat mulai dari
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dan Menteri Kehakiman, hingga
masuk kedalam penjara pernah ia lalui. Kiprahnya dalam pengabdian untuk
Indonesia sangatlah besar, perguruan tinggi keguruan pertama di Indonesia (yang
belakangan menjadi IKIP) adalah gagasan beliau. Usulan dasar negara juga bahasa
persatuan adalah hasil karya beliau. Dalam dunia sastra, peran besar beliau
adalah dengan memperkenalkan soneta pada dunia sastra Indonesia. Saat sastrawan
Indonesia lain tergila-gila dengan kesusastraan India, beliau memilih jalan
lain dengan mendalami romantisisme sastra eropa.
Mengenai kehidupan berkeluarganya,
M.Yamin tidak banyak diceritakan. Istri beliau adalah aktivis Keputri Indonesia
Muda, organisasi kewanitan Indonesia Muda. Di rumah M.Yamin adalah sosok
pendiam, begitu pula istrinya. M.Yamin memiliki satu anak kandung dan satu
angkat. Ada cerita menarik tentang hubungan beliau dengan HAMKA, salah satu
negarawan Indonesia yang berhaluan islam. Mereka banyak berdebat dalam forum
publik juga media, dimulai dari perbedaan pendapat mereka mengenai dasar
negara. Buya HAMKA berpendapat tentang islam sebagai dasar negara, sedangkan
M.Yamin bersikukuh pada pancasila. Pertentangan mereka berakhir sesaat ketika
M.Yamin akan wafat. Beliau meminta maaf kepada HAMKA beberapa saat sebelum menghembuskan
nafas terakhirnya. Pada proses pemandian jenazah dan yang mengimami shalat
jenazahnya adalah M.Yamin. Beliau dimakamkan di tanah kelahiranya, berdampingan
dengan makam ayahnya di Talawi.
Kisah hidup negarawan besar seperti
Muhammad Yamin menarik untuk ditelusuri. Kebiasaan baca dan menulis hingga
melahirkan 44 judul buku, kontroversi dalam hidupnya, lika-liku perjuangan,
hingga hubungannya dengan negarawan lain memberi pelajaran penting, bagaimana
negara ini didirakan dengan perjuangan, darah, dan air mata. Mempelajari
perjuangan masa lalu penting untuk bisa direfleksikan pada kehidupan bernegara
saat ini.
16.44, 04 Juli 2017
Majalengka
0 komentar