Pak Tua dan Keramaian
23:03:00
Pagi menjelang ketika bulan perlahan mempersilahkan
matahari untuk bergantian mendekati awan yang tetap saja menggantung di langit.
Langit pun tetap begitu dengan cuaca yang kadang tak menentu, dengan hawa yang
kadang menggerutu, dengan cahaya yang menelisik dengan malu. Lalu lintas sudah
saja penuh dengan pikiran-pikiran tentang kerumitan hari ini dengan dentuman
bebatuan yang tersingkir oleh kendaraan, dengan gemericik air sisa hujan
semalam, dengan lantuan dedaunan yang bergoyang tertempa angin pagi.
Ruang itu mulai terisi ocehan segelintir orang yang
sibuk bertukar pendapat tentang apa yang mereka lalui kemarin malam. Tentang
bisikan, teriakan, sentuhan, dan segala macam perilaku yang bahkan belum juga
bisa ditemukan dalam kamus perbahasaan. Ruang itu mulai terisi detakan jarum
detik yang tak pernah menghiraukan apa-apa. Semua berpadu mengirama (walau
mengacak) dalam satu pagi yang tak pernah bisa ditafsirkan oleh siapapun.
Pak Tua melangkah gemetar namun pasti ke dalam ruang
yang sedikitnya sudah terisi dengan hawa hangat pagi. Tangannya penuh dengan
materi-materi yang sudah lama dititipkan kepadanya. Pak Tua dengan gemetar
namun pasti terus melangkah ke depan keramaian yang tercipta karena kejadian
tadi malam. Tentang apa saja yang bahkan tak habis diceritakan ke dalam
setumpukan buku tebal. Pak Tua duduk siap tanpa gemetar seperti ketika dia
melangkah memasuki ruang itu (mungkin pagi ini beliau sengaja menyegerakan diri
untuk sesuatu yang telah lama dititipkan kepadanya). Jarum detik masih saja
berdetak tanpa sedikitpun peduli kepada Pak Tua yang sedang mempersiapkan
segala hal yang telah lama dititipkan kepadanya.
Kapur mulai bergerak, papan mulai tergores, keringat
mulai mengucur pada dahi Pak Tua yang sadar akan segala hal yang dititipkan
kepadanya sejak lama. Model rupa yang sengaja Pak Tua buat sejak lama (dan
bertahun-tahun telah beliau gunakan) telah tegak berdiri sejak tadi, ketika
beliau baru saja memasuki ruangan dengan gemetar namun pasti. 10 20 30 menit
Pak Tua terus saja berucap dan berkhayal tentang apa saja yang telah ia lalui
10 20 30 tahun yang lalu. Kapur terus saja bergerak, papan semakin tergores,
keringat sudah berhenti mengucur dari dahi Pak Tua (mungkin karena pendingin
ruangan yang sudah dihidupkan olehnya).
Keramaian tentang kejadian tadi malam masih saja
mengudara, menelisik hingga sela-sela sempit ruang itu, di pagi itu, di hadapan
Pak Tua yang masih saja sibuk dengan apa yang telah dititipkan kepadanya sejak
lama. Bisikan, teriakan, sentuhan, dan segala macam perilaku yang bahkan belum
juga bisa ditemukan dalam kamus perbahasaan terus bergulir, tak peduli kapur
yang bergerak, papan yang tergores, keringat Pak Tua yang sudah lama mengering
(ya, karena pendingin ruangan yang telah beliau hidupkan). Detakkan jarum masih
saja tidak memperdulikan apa yang terjadi di depannya, model yang telah lama
digunakan oleh Pak Tua tetap tegak berdiri di depan keramaian.
10 20 30 menit berlalu dan keramaian masih saja
bergulir tanpa sedikitpun memperdulikan Pak Tua yang sejak tadi menggerakan
kapurnya (sama seperti detak jarum detik). Kejadian tadi malam sepertinya jauh
lebih menarik dibanding hal yang telah dititipkan kepada Pak Tua sudah sejak
lama. Keramaian kelihatannya jauh lebih menarik dibanding gerakan kapur, papan yang
tergores, dan keringat di dahi Pak Tua yang sejak tadi telah mengering. Detak
jarum detik masih saja bergulir tanpa sedikit pun peduli dengan Pak Tua yang
terus saja menggerakan kapur, menggores papan, menghiraukan keringat yang sudah
mengering, persis seperti keramaian yang terus saja menggerogoti isi ruangan
tentang kejadian tadi malam.
Irama yang mengacak pagi ini sepertinya tidak
sedikitpun dihiraukan oleh detak jarum detik yang terus saja bergulir. Sama
seperti keramaian yang tetap saja mengadu pada ruang itu tanpa memperdulikan
Pak Tua yang tadi datang dengan gemetar namun pasti untuk menyampaikan sesuatu
yang telah lama dititipkan kepadanya. TIDAK SEDIKITPUN.
5
April 2016
Surabaya
0 komentar