Kabut

Pagi menyapa dengan terang. Sinar mentari pada hari Sabtu pun menembus melewati jendela di kamar. Burung-burung ber kicauan, dan ayam p...


Pagi menyapa dengan terang. Sinar mentari pada hari Sabtu pun menembus melewati jendela di kamar. Burung-burung ber kicauan, dan ayam pun ber kokok. James adalah namaku. Seorang pelajar SMA di kota ku. Aku lahir di Indonesia. Di pulau ku ada dua negara yang saling berbatas tanah. Daerah ku nyaman, tentram, dan sejahtera. Apalagi setelah kasus dengan mafia Internasional berakhir. Penduduk daerah ku dikenal garang. Bahkan perselisihan antar suku pun bisa terjadi. Penduduk di daerah ku rata-rata berkulit hitam, dan berambut keriting. Akan tetapi lingkungan kami masih terjaga dan tetap enak jika dipandang. Daerah  ku terasa sangat nyaman. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang melesat jauh. Dulu daerah ku sering terjadi bentrok dengan mafia tersebut. Mereka yang bentrok ingin menuntut hak mereka. Kami memang tidak bisa apa-apa melawan mereka, mereka jauh lebih cerdas daripada kita. Dulu kami pun hanya berharap kepada pemerintah agar kasus mafia ini terselesaikan. Dan akhirnya presiden kami yang sekarang ini bisa merealisasikannya.

            Jam menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit yang artinya sebagai pelajar kita harus menjalankan kewajiban kita yaitu belajar. Sekolahku yang sekarang begitu rindang dan enak dipandang. Kami tidak lagi terbataskan teknologi dan buku seperti dulu. Sekarang kami pun bisa bersekolah dengan semangat. hari ini ada pelajaran Bahasa Indonesia. Dimana gurunya dari pulau seberang. Walaupun begitu, kami tetap semangat belajar. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia kali ini kita diminta untuk membuat sebuah drama. Tema dibebaskan. Drama ini berisikan 5 anggota aku, Vino, Gery, Jeny, dan Veny. Kami sengaja memilih drama yang bisa dibilang mudah yaitu Putri Salju. Setelah selesai bersekolah kita pun langsung mendiskusikan bagaimana drama ini akan dipentaskan. Setelah rundingan berakhir, kita mendapatkan job masing-masing. Aku menjadi pangeran, Vino menjadi cermin ajaib, Gery menjadi kurcaci, Jeny menjadi Putri Salju, dan Veny menjadi penyihir. Setelah itu kita pun pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, kita mendiskusikan dialog antar pemain nantinya. Kita janjian pada sebuah lapangan di pinggir sungai. Sungai di daerah ku masih bersih, tidak terlihat sampah berserakan. Lapangannya pun terjaga dengan baik. Kita semua janjian pada pukul sembilan pagi. Aku mengenakan pakaian serba ada. Memang dalam berpakaian aku sedikit malas memikirkannya. Dalam diskusi tersebut kita pun refreshing dengan bermain petak umpet sebentar. Tak terasa sore pun tiba. Diskusi telah selesai, dan kita pun kembali ke rumah masing-masing. Sejujurnya dalam hal pentas, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku adalah tipe orang yang cepat terkena demam panggung. Mau tak mau, aku harus menghafalkan dialog dengan sempurna agar aku tidak terlihat grogi.

            Akhirnya hari sabtu pun datang. Aku bergegas mandi dan sarapan seadanya. Walaupun bagiku seadanya sudah terasa nikmat apalagi ditemani oleh keluarga tercinta. Gery tiba-tiba menghampiri rumahku, dia mengajakku untuk bareng berangkat ke sekolah. Rumah Gery memang di sebelah rumahku, tapi dia biasanya datang lebih awal daripada aku. Aku pun setuju dengan ajakannya. Waktu pelajaran Bahasa Indonesia pun datang. Seketika seisi kelas ramai. Dan ternyata kelompokku lah yang pertama kali harus menampilkan dramanya. Aku pun menjadi grogi dan gugup seketika. Pada awal drama, kami pun mengenalkan diri masing-masing. Pada saat giliran ku aku terpeleset dan kepala ku membentur lantai. Aku pun tak sadarkan diri seketika.

            Aku terbangun di pagi hari. Sinar mentari pun menembus melewati jendela di kamar. Burung-burung ber kicauan, dan ayam pun ber kokok. Aku ingat aku terjatuh, tapi ini bukan kamarku. Sekarang semua terasa berbeda. aku pun langsung melihat keluar jendela. Semua berbeda, rumah, serta fasilitas di kampungku berbeda. aku keluar rumah dengan kepala agak pusing. Aku membaca koran yang tergeletak di depan rumahku. Di situ tercetak nama yang tidak asing bagiku. FREEPORT, sebuah perusahaan asing asal Amerika yang menguasai papua. “ Terjadi Bentrok Dengan FREEPORT” itu yang tercetak pada koran tersebut. Aku pun teringat, FREEPORT masih berada di tanah papua.  Aku pun merasa agak lemas. Ternyata semua tadi hanyalah mimpi. Tanah Papua yang tentram, nyaman, dan sejahtera adalah sebatas mimpi. Ekonomi, dan teknologi yang sudah merata juga merupakan sebuah mimpi. Sekolahku ternyata tidak layak layak pakai. Banyak atap yang berlubang, dan kelas akan libur apabila hujan datang. Aku sangat merindukan mimpi tersebut. aku rela terjebak dalam mimpi ku tersebut. Aku merasa miris terhadap Papua yang berharga dikuasai oleh perusahaan asing. aku, bahkan kami warga menginginkan kebebasan atas tanah kami. Tanah kami adalah harga diri kami. Aku menginginkan waktu dimana presiden kita menolak bekerja sama lagi dengan mafia tersebut. Benar, mafia yang menguasai tanah kami. Aku pun kembali kedalam rumah. Aku langsung menyantap sarapan pagi dari Ibuku. Setelah itu aku kembali kedalam kamar dan berharap mimpi itu akan terulang kembali. Mimpi dimana rakyat Papua hidup bahagia.


M. Fatkhu Bahril Falah
Teknik Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

You Might Also Like

0 komentar