Kabut
19:02:00
Pagi menyapa
dengan terang. Sinar mentari pada hari Sabtu pun menembus melewati jendela di
kamar. Burung-burung ber kicauan, dan ayam pun ber kokok. James adalah namaku.
Seorang pelajar SMA di kota ku. Aku lahir di Indonesia. Di pulau ku ada dua
negara yang saling berbatas tanah. Daerah ku nyaman, tentram, dan sejahtera.
Apalagi setelah kasus dengan mafia Internasional berakhir. Penduduk daerah ku
dikenal garang. Bahkan perselisihan antar suku pun bisa terjadi. Penduduk di
daerah ku rata-rata berkulit hitam, dan berambut keriting. Akan tetapi
lingkungan kami masih terjaga dan tetap enak jika dipandang. Daerah ku terasa sangat nyaman. Apalagi dengan
pertumbuhan ekonomi yang melesat jauh. Dulu daerah ku sering terjadi bentrok
dengan mafia tersebut. Mereka yang bentrok ingin menuntut hak mereka. Kami
memang tidak bisa apa-apa melawan mereka, mereka jauh lebih cerdas daripada
kita. Dulu kami pun hanya berharap kepada pemerintah agar kasus mafia ini
terselesaikan. Dan akhirnya presiden kami yang sekarang ini bisa
merealisasikannya.
Jam
menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit yang artinya sebagai pelajar kita
harus menjalankan kewajiban kita yaitu belajar. Sekolahku yang sekarang begitu
rindang dan enak dipandang. Kami tidak lagi terbataskan teknologi dan buku
seperti dulu. Sekarang kami pun bisa bersekolah dengan semangat. hari ini ada
pelajaran Bahasa Indonesia. Dimana gurunya dari pulau seberang. Walaupun
begitu, kami tetap semangat belajar. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia kali ini
kita diminta untuk membuat sebuah drama. Tema dibebaskan. Drama ini berisikan 5
anggota aku, Vino, Gery, Jeny, dan Veny. Kami sengaja memilih drama yang bisa
dibilang mudah yaitu Putri Salju. Setelah selesai bersekolah kita pun langsung
mendiskusikan bagaimana drama ini akan dipentaskan. Setelah rundingan berakhir,
kita mendapatkan job masing-masing. Aku menjadi pangeran, Vino menjadi cermin
ajaib, Gery menjadi kurcaci, Jeny menjadi Putri Salju, dan Veny menjadi
penyihir. Setelah itu kita pun pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya,
kita mendiskusikan dialog antar pemain nantinya. Kita janjian pada sebuah
lapangan di pinggir sungai. Sungai di daerah ku masih bersih, tidak terlihat
sampah berserakan. Lapangannya pun terjaga dengan baik. Kita semua janjian pada
pukul sembilan pagi. Aku mengenakan pakaian serba ada. Memang dalam berpakaian
aku sedikit malas memikirkannya. Dalam diskusi tersebut kita pun refreshing dengan bermain petak umpet
sebentar. Tak terasa sore pun tiba. Diskusi telah selesai, dan kita pun kembali
ke rumah masing-masing. Sejujurnya dalam hal pentas, aku tidak bisa berbuat
banyak. Aku adalah tipe orang yang cepat terkena demam panggung. Mau tak mau,
aku harus menghafalkan dialog dengan sempurna agar aku tidak terlihat grogi.
Akhirnya
hari sabtu pun datang. Aku bergegas mandi dan sarapan seadanya. Walaupun bagiku
seadanya sudah terasa nikmat apalagi ditemani oleh keluarga tercinta. Gery
tiba-tiba menghampiri rumahku, dia mengajakku untuk bareng berangkat ke
sekolah. Rumah Gery memang di sebelah rumahku, tapi dia biasanya datang lebih
awal daripada aku. Aku pun setuju dengan ajakannya. Waktu pelajaran Bahasa
Indonesia pun datang. Seketika seisi kelas ramai. Dan ternyata kelompokku lah
yang pertama kali harus menampilkan dramanya. Aku pun menjadi grogi dan gugup
seketika. Pada awal drama, kami pun mengenalkan diri masing-masing. Pada saat
giliran ku aku terpeleset dan kepala ku membentur lantai. Aku pun tak sadarkan
diri seketika.
Aku
terbangun di pagi hari. Sinar mentari pun menembus melewati jendela di kamar.
Burung-burung ber kicauan, dan ayam pun ber kokok. Aku ingat aku terjatuh, tapi
ini bukan kamarku. Sekarang semua terasa berbeda. aku pun langsung melihat
keluar jendela. Semua berbeda, rumah, serta fasilitas di kampungku berbeda. aku
keluar rumah dengan kepala agak pusing. Aku membaca koran yang tergeletak di
depan rumahku. Di situ tercetak nama yang tidak asing bagiku. FREEPORT, sebuah
perusahaan asing asal Amerika yang menguasai papua. “ Terjadi Bentrok Dengan
FREEPORT” itu yang tercetak pada koran tersebut. Aku pun teringat, FREEPORT
masih berada di tanah papua. Aku pun
merasa agak lemas. Ternyata semua tadi hanyalah mimpi. Tanah Papua yang
tentram, nyaman, dan sejahtera adalah sebatas mimpi. Ekonomi, dan teknologi
yang sudah merata juga merupakan sebuah mimpi. Sekolahku ternyata tidak layak
layak pakai. Banyak atap yang berlubang, dan kelas akan libur apabila hujan
datang. Aku sangat merindukan mimpi tersebut. aku rela terjebak dalam mimpi ku
tersebut. Aku merasa miris terhadap Papua yang berharga dikuasai oleh
perusahaan asing. aku, bahkan kami warga menginginkan kebebasan atas tanah
kami. Tanah kami adalah harga diri kami. Aku menginginkan waktu dimana presiden
kita menolak bekerja sama lagi dengan mafia tersebut. Benar, mafia yang
menguasai tanah kami. Aku pun kembali kedalam rumah. Aku langsung menyantap
sarapan pagi dari Ibuku. Setelah itu aku kembali kedalam kamar dan berharap
mimpi itu akan terulang kembali. Mimpi dimana rakyat Papua hidup bahagia.
M. Fatkhu Bahril Falah
Teknik Perkapalan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
0 komentar