Kuantitas > Kualitas

Saya menulis ini di perpustakaan ITS pukul 11:07. Ada beberapa hal menarik di ITS khususnya atau mungkin di sistem pendidikan kita pada um...

Saya menulis ini di perpustakaan ITS pukul 11:07. Ada beberapa hal menarik di ITS khususnya atau mungkin di sistem pendidikan kita pada umumnya saat ini. Satu kasus yang baru saja saya dapatkan beberapa minggu lalu dari dosen saya bahwa sekarang Evaluasi Akhir Semester (EAS) hanya membahas bab-bab sisa setelah pelaksanaan Evaluasi Tengah Semester (ETS). Berbeda dengan dahulu saat bahan EAS juga mengambil materi yang pernah dipelajari di setengah semester awal. Menurut dosen saya, mahasiswa sekarang semakin dipermudah untuk melaksanakan EAS disbanding dengan mahasiswa-mahasiswa dulu yang bahan EASnya diambil dari materi seluruh semester. Dosen saya menambahkan bahwa mahasiswa-mahasiswa lama memiliki kualitas yang lebih  dibanding dengan mahasiwa-mahasiswa setelah sistem baru ini diterapkan. Walaupun secara Indeks Prestasi (IP) mahasiswa dulu tidak setinggi mahasiswa sekarang. Tetapi untuk masalah kualitas dosen saya masih “meninggikan” para mahasiswa ama. Ini membuat saya bertanya-tanya mengapa sistem baru seperti ini diterapkan. Ada satu jawaban singkat dari dosen saya ketika saya menanyakan hal ini.

“Biar lebih banyak mahasiswa yang lulus.” Jawab dosen saya.
Dari jawaban tersebut saya bisa sedikit memberi pendapat bahwa kini perguruan tinggi lebih mengedepankan kuantitas mahasiswa yang lulus dibandingkan dengan mahasiswa dengan kualitas yang tinggi. Satu dugaan saya bahwa universitas-universitas kini ingin mengejar kuota sarjana-sarjana yang lulus agar kita tidak tertinggal dari negara lain. Apalagi pada tahun 2014 ini Indonesia sedang dicemaskan dengan yang namanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau yang dalam bahasa inggrisnya disebut ASEAN Economic Community (AEC) pada akhir tahun 2015 nanti. Sebenarnya MEA/AEC sudah direncanakan akan dimulai pada awal tahun 2015, tetapi menurut penjelasan dari bagian International Office ITS, Indonesia belum siap dan meminta kemunduran hingga akhir tahun 2015. Ini menunjukan betap belum siapnya negara kita dalam event-event luar negeri  yang berkaitan dengan kualitas manusianya.
Entah apa strategi pendidikan kita mengenai sistem yang berbeda dengan sistem yang sebelumnya. Saya disini sebagai penulis dan mahasiswa, baru bisa mengungkapkan kejadian yang ada sembari berusaha berpikir apa jalan keluar yang lebih baik untuk masalah ini. Bukanlah pemerintah atau praktisi pendidikan saja yang bertanggung jawab berpikir dan mengurus masalah ini. Mari bersama kita bantu untuk mencari jalan keluar masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa kita.
Haekal Akbar Kartasasmita

Kamis, 13 November 2014

You Might Also Like

0 komentar