Yang Fana Adalah Waktu
09:44:00
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2018
Tebal : 146 halaman
ISBN : 978-602-03-8305-7
Yang Fana Adalah Waktu adalah sekuel lanjutan dari Trilogi Hujan Bulan Juni,
setelah buku pertama berjudul Hujan Bulan
Juni, dan buku kedua dengan judul Pingkan
Melipat Jarak. Tokoh-tokoh yang hadir dalam sekuel ketiga trilogi hujan
bulan juni ini masih pada orang-orang yang sama yaitu Sarwono, Pingkan, dan
Katsuo sebagai tokoh sentral, ditambah Noriko, calon istri Katsuo di Jepang,
Bapak dan Ibu Hadi, orang tua Sarwono, Ibu Palenkahu, Ibu Katsuo, dan beberapa
rekanan Sarwono di FIB UI turut hadir sebagai perantara kisah yang dibawa dalam
novel ini.
Cerita
dan konflik yang hadir dalam Yang Fana
Adalah Waktu adalah tentang kelanjutan kisah cinta Sarwono dan Pingkan, paska
kesembuhan Sarwono dari sakit yang dideritanya. Sarwono yang kembali ke
rumahnya setelah dirawat cukup lama di Rumah Sakit harus menerima keadaan bahwa
Pingkan kini tinggal di Jepang bersama Katsuo. Dalam novel ini digambarkan betapa kegalauan Sarwono
terhadap Pingkan yang sehari-hari bersama-sama Katsuo di Kyoto, Jepang. Walaupun
begitu, tali komunikasi yang terjadi antar Sarwono dan Pingkan terjalin lewat
surat elektronik. Dalam kondisi tersebut pun dikisahkan kegelisahan Bapak dan
Ibu Hadi, juga Ibu Palenkahu atas kelanjutan hubungan anak-anaknya tersebut.
Calon besan yang sedang memperjuangkan cinta anak-anaknya ini sengaja
menyetting skenario agar keberadaan Sarwono-Pingkan dapat berlangsung hingga
pelaminan.
Paska
sembuh dari sakitnya, Sarwono yang dulu pernah berjanji pada Pingkan untuk
menyusul ke Jepang akhirnya dapat menepati janjinya ketika penelitian yang
dikerjakannya mendapat kesempatan untuk dipresentasikan di Kyoto. Tentu hal ini
menjadi kabar baik bagi keduanya, karena pada saat yang sama pula Katsuo sedang
mencoba mendekatkan dirinya kepada Pingkan agar cintanya dapat diterima oleh
wanita keturunan Jawa-Menado tersebut. Pun ketika pada kenyataannya Katsuo
telah dijodohkan oleh Ibunya bersama Noriko, yatim piatu yang bekerja di rumah
Ibu Katsuo.
Dalam
novel Yang Fana Adalah Waktu ini
konflik terjadi ketika Sarwono yang berada jauh di Solo harus menahan rindunya
kepada Pingkan yang sedang menempuh masa belajar di Kyoto. Pada saat yang
bersama pula, Katsuo masih menaruh hati pada Pingkan dan berusaha untuk
mendekatkan dirinya dalam hubungan yang membingungkan. Di satu sisi dia begitu
mencintai Pingkan, namun di sisi lain dia menuruti keinginan ibunya untuk
dijodohkan dengan Noriko. Pingkan sendiri dalam keadaan terdesak karena hampir
setiap hari berdekatan dengan Katsuo, sedangkan dalam hatinya hanya Sarwono
seorang, cinta pertamanya (juga terakhirnya).
Sama
seperti novel-novel sebelumnya dalam trilogi hujan bulan juni, Yang Fana Adalah Waktu ini dihiasi
dengan diksi-diksi indah dan penuansaan yang begitu mengena khas seorang
maestro romantisme Sapardi. Sapardi berhasil menggambarkan Sarwono sebagai
dirinya sendiri, seorang lelaki kelahiran tanah Jawa yang begitu puitis bahkan
hingga bahasa sehari-harinya. Percakapan Sarwono dengan Pingkan senantiasa
dihiasi diksi-diksi puitis, pun juga dengan arah pembicaraan mereka berdua yang
sering kali ngalor-ngidul melintas
dalam dunia puitis Sapardi. Uniknya jika pembaca adalah pengikut setia
karya-karya Sapardi seperti kumpulan puisi Hujan
Bulan Juni juga Melipat Jarak,
kita dapat menemui kalimat-kalimat tertentu yang menghiasi bait-bait puisi
populer Sapardi. Contoh saja seperti kalimat “tak ada yang lebih tabah, lebih
bijak, dan lebih arif” yang tertulis dalam percakapan Sarwono-Pingkan ini identik
dengan puisi populer Sapardi berjudul Hujan
Bulan Juni. Satu lagi adalah kalimat “kumpulan awan yang tak menjadi hujan
agar tidak menjadi tiada” identik dengan puisi populer Sapardi berjudul Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana.
Setelah
menelan buku ini lalu ketika ada yang bertanya apakah Sapardi berhasil
menghadirkan nuansa romantis dalam novel Yang
Fana Adalah Waktu, serta merta akan dijawab Ya dengan tiga buah tanda seru
di belakangnya. Sarwono-Pingkan, juga Katsuo berhasil membawa alur cerita romantis,
sedih, galau, juga sedikit menegangkan (karena mereka-reka kelanjutannya)
dengan pembawaan khas Sapardi. Kata-kata yang dapat dicerna masyarakat awam
namun juga dapat ditinjau dari sisi kritis khas kritkus sastra. Buku ini
berhasil memaksa pembacanya untuk meminta pada penulis. “Lanjutkan kisah
Sarwono-Pingkan hingga keduanya masuk dalam liang kubur!”.
15 Juni 2018
Bandung
0 komentar