Pingkan Melipat Jarak

Penulis       : Sapardi Djoko Damono Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan      : I, Maret 2017 Tebal          : 121...



Penulis       : Sapardi Djoko Damono
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : I, Maret 2017
Tebal          : 121 halaman
ISBN          : 978-602-03-3975-7

Pingkan Melipat Jarak, merupakan sekuel dari trilogy novel Hujan Bulan Juni, setelah tulisan pertama Sapardi dengan judul yang sama, Hujan Bulan Juni. Masih dalam konflik cerita yang sama dengan tokoh-tokoh yang sama, yaitu Pingkan, Sarwono, dan Katsuo, serta tokoh-tokoh sampingan yang juga membantu alur cerita yaitu Ibu Palenkahu, Ibu dan Bapak Hadi, Toar, dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam novel lanjutan Hujan Bulan Juni ini diceritakan tentang keadaan Sarwono yang sakit sampai-sampai memengaruhi keadaan jiwa Pingkan yang begitu mencintai Sarwono. Ditambah lagi satu tokoh lain, seorang kewarganegaraan Jepang yang sedang meneliti tentang dampak perpindahan budaya desa pinggiran ke kota, Katsuo. Katsuo yang sebelumnya merupakan rekanan Pingkan ketika mengambil studi di Jepang, diam-diam (atau tidak) mencintai Pingkan. Lalu terjadilah cinta segitiga diantara mereka.
Keadaan Sarwono yang cukup parah memengaruhi kondisi kejiwaan Pingkan. Dalam ilmu Kyoto, Jepang kuno menjelaskan bahwa Sarwono telah kehilangan mabuinya, yaitu inti ruh seorang manusia. Karena cinta Pingkan terhadap Sarwono, ternyata Pingkan pun kehilangan mabuinya. Untuk mengembalikan mabui seseorang kembali ke dalam tubuhnya, perlu diadakan upacara bernama mabui-gumi. Untuk melakukan hal ini, diperlukan satu petua Jepang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan para leluhur, yang ternyata Ibu Katsuo di Jepang lah orangnya. Karena kecintaan Katsuo terhadap Pingkan, dan rasa persahabatan serta kebutuhan penelitiannya di Indonesia terhadap Sarwono, maka Katsuo berencana meminta kepada ibunya untuk melakukan ritual mabui-gumi. Namun hal ini terhalang ketika sang Ibu Katsuo mengetahui bahwa anaknya mencintai Pingkan, yang sebelumnya sudah berjanji akan mengawini Noriko, gadis dari kampung halaman pilihan ibunya. Jika janji itu dilanggar maka akan mencoreng nama baik Ibu Katsuo yang sudah menjadi petinggi adat di kampung halamannya. Hal ini akhirnya menjadi konflik tersendiri pada diri Katsuo yang berkeinginan untuk menyelamatkan Sarwono dan Pingkan, tapi juga tetap ingin memenuhi janji kepada ibunya untuk menikahi Noriko. Konflik Pingkan yang menginginkan Sarwono, cinta segitiga Pingkan, Sarwono, dan Katsuo, sakit Sarwono yang tak kunjung sembuh, hingga kekhawatiran keluarga Pingkan karena kondisi Pingkan akan menghiasi novel sekuel Hujan Bulan Juni karya Sapardi ini.
Dalam Pingkan Melipat Jarak, kental diceritakan tentang adat istiadat serta budaya yang diamini oleh tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Toar yang kukuh dengan ke-Sulawesi-annya, adat Jawa yang kental pada keluarga Sarwono, budaya Jepang yang dibawa oleh Katsuo, hingga kebimbangan budaya yang dialami oleh Pingkan dan Ibunya, menjadi satu hal menarik yang terdapat dalam novel ini. Kedalaman karakter yang dimiliki masing-masing tokoh juga sangat tercermin dari cuplikan-cuplikan perbincangan dalam hati masing-masing tokoh. Dengan membawa latar budaya dari daerah masing-masing, perbincangan hati tiap tokoh terlihat perbedaannya. Ini menunjukan pemahaman terhadap tiap budaya yang cukup mendalam dari sang penulis, salut pada eyang Sapardi.
Seperti pada karya-karya Sapardi sebelumnya, dalam novel ini juga penuh dihiasi dengan kata-kata hingga perumpamaan-perumpamaan indah. Kita ambil contoh kata-kata yang diucapkan Katsuo dalam kebimbangan dirinya, Untuk menjaga cintaku pada Pingkan, Sarwono harus sembuh, dan harus bersama Pingkan selamanya. Hal ini menjadi menarik dengan pembawaan suasana dan latar yang nyaman serta tidak diduga-duga. Kelana Sarwono dalam konflik hatinya ketika di rumah sakit, perbincangan cicak yang diam-diam didengar oleh Pingkan, hingga ritual Katsuo di candi-candi untuk bisa berkomunikasi dengan leluhur serta ibunya, adalah sekian dari banyak adegan yang menggambarkan penggambaran suasana serta latar yang memikat dari Sapardi.
Secara keseluruhan setelah membaca buku ini, kurang lebih sama dengan ketika membaca buku sebelumnya, Hujan Bulan Juni. Ringan untuk dibaca oleh orang awam, tapi juga tidak terlalu remeh untuk dibaca oleh kalangan kritikus sastra. Buku ini menjadi rekomendasi untuk para pembaca yang ingin mendalami gaya penulisan Sapardi dengan ciri khas pembawaan romantis dan lirihnya.

27 Juni 2017
Bandung

You Might Also Like

0 komentar