Lapak Nasi Goreng

Cerita sedikit setelah menikmati nasi goreng di lapak sederhana pinggir jalan dekat asrama. Karena sudah lama ga post tentang cerita hidup, ...

Cerita sedikit setelah menikmati nasi goreng di lapak sederhana pinggir jalan dekat asrama. Karena sudah lama ga post tentang cerita hidup, jadi mungkin agak sedikit aneh.

Malam ini setelah KO seharian di kasur, rasa lapar memanggil juga. Sehabis shalat isya di masjid stesia, dengan sedikit sisa uang di kantung celana, sepertinya nikmat juga makan nasi goreng di ujung tikungan jalan. Walau sebenarnya masih mual dan tenggorokan serasa menolak makanan, ternyata perut meronta-ronta juga. Akhirnya terpaksa makan makanan yang ada di depan mata.

Lapaknya sederhana, hanya dua tempat duduk panjang, satu etalase dengan bahan-bahan nasi goreng lengkap dengan bumbunya, seperangkat penggorengan, dan terpal biru khas alas duduk pengajian untuk atapnya. Malam cukup cerah dan jalanan lumayan ramai, bertempat dekat kampus, kukira akan banyak mahasiswa yg mampir di sana. Tapi ternyata tidak juga.

Waktu itu hanya ada aku dan sepasang ayah-anak yang membeli. Ditemani kemesraan suami-istri yang kompak bekerja sama membuat nasi goreng untuk pelanggan (oke, ini bikin iri). Masakannya sederhana, rasanya pun biasa khas nasi goreng pinggir jalan. Namun jika sampai dituliskan di sini, berarti ada hal spesial lain di sana.

Karena mual dan pusing, aku tidak terlalu fokus pada makanannya. Sekedar memanjakan perut yang meronta ku kira lebih dari cukup. Tapi pemandangan di depan mataku yang membuat aku betah di lapak sederhana itu. Sepasang ayah dan anaknya yang lagi-lagi bermesraan di depan ku. Dari penampilannya (maaf) mereka terlihat dari orang-orang yang hidup sederhana, bahkan mungkin kurang mampu. Lalu kenapa spesial? Begini.

Tatapan si ayah kosong ke depan, entah memikirkan apa. Anaknya masih kecil, kurang lebih umur 7/8 tahun, cekikikan sendiri (entah karena apa). Si ayah mungkin sedang berdiskusi dengan pikirannya sendiri dan si anak sibuk bermain dengan imajinasinya. Nasi goreng belum juga jadi, dan penampakan itu menarik perhatianku. Banyak yang aku reka-reka, mungkin si ayah sedang berpikir tentang pekerjaannya esok hari dan si anak sedang berpikir bertarung dengan godzilla untuk menyelematkan kota, siapa yang tau?

Nasi goreng tersedia dan ini yang membuatku betah di lapak itu. Bagaimana tidak, sekejap setelah tersedia nasi goreng dari sepasang suami-istri itu langsung lahap diperebutkan oleh sendok dan garpu. Aku sama sekali tak melihat kegelisahan tatapan kosong si ayah tadi lagi. Yang kuperhatikan adalah bagaimana dia dengan semangat bergelut dengan piring di depan matanya. Si anak tak mau kalah, dengan lincah sambil cekikikan mulutnya mengunyah hasil suapan si ayah. Entah kenapa aku bahagia melihatnya. Di lapak sesederhana itu, dengan nasi goreng yang kukira rasanya sama seperti gerobak-gerobak yang lain ada orang-orang yang begitu semangatnya menyantap sajian dari sang koki (yang lagi-lagi cukup mesra).

Ada yang tersentil di dalam hatiku. Aku menemukan rasa syukur di lapak sederhana itu. Berbeda dengan ku yang kadang masih saja protes dengan ini-itu, menuntut hal yang lebih dari yang lain, selalu merasa kurang dengan apa yang ada tanpa pernah menyadari ada orang-orang yang hanya dengan nasi goreng ala pinggir jalan bisa bersyukur sebegitu ikhlasnya. Malu sejujurnya, apalagi mengingat aku terlalu banyak menuntut ini-itu, dalam hal yang sederhana saja seperti makanan, aku masih mau yang ini yang itu. Yang kupikirkan hanya bagaimana diriku bisa merasa puas, bukan bagaimana diriku bisa bersyukur dengan apa yang ada. Bagaimana nafsu bisa terpenuhi, bukan bagaimana hati bisa terisi dengan yang baik. Lidah mengalahkan perut dan nafsu mengalahkan akal sehat. Malu. Ya sangat malu.

Dari lapak sederhana nasi goreng aku belajar bersyukur dan sekaligus mendapat kebahagiaan. Sedikit curhat, hal yang membuatku bahagia adalah ketika aku bisa melihat orang lain bahagia apalagi membuat orang lain bahagia, itu sudah lebih dari cukup. Dan di lapak nasi goreng itu aku menemukan kebahagiaanku.

Oke, sepertinya setelah ini aku akan lebih sering makan di pinggir jalan dibanding di restoran-restoran besar.

Kamu mau ikut?

20.06, 23 Mei 2017
Kamar 8 Rumah Kepemimpinan, Surabaya

You Might Also Like

0 komentar