Pagi ini

Pagi ini setelah rutinitas mahasiswa yang cukup melelahkan, aku bangun cukup siang. Acara himpunan yang baru selesai jam 1 pagi, "dipak...

Pagi ini setelah rutinitas mahasiswa yang cukup melelahkan, aku bangun cukup siang. Acara himpunan yang baru selesai jam 1 pagi, "dipaksa bangun" jam 3 pagi di asrama, dan langsung ditemukan dengan jadwal kuliah pagi. Belum lagi acara 3 hari ke depan yang super padat LKMM, agenda asrama, dan serangkaian pengawalan pemira berbenturan di sana-sini. lni cukup membuat badan merengek meminta istirahat. Tapi apa daya, tanggung jawab belum mengizinkan (maaf ya badan).

Rencana bangun pagi dengan jadwal yang tersusun rapih berantakan juga akhirnya. Setelah Waktu Berkah Shubuh tubuh menyerah di hangatnya kamar asrama. Bablas! Sampai jam 9 dan seharusnya kelas sudah masuk. Dosen matkul ini cukup "mengerikan" dan lebih baik bolos daripada telat masuk, toh jatah absen masih belum dipergunakan sama sekali.

Setelah memutuskan bolos kuliah tetap saja ada yang membuatku harus berangkat ke kampus. Kerjaan-kerjaan untuk 2-3 hari ke depan harus diselesaikan dari sekarang, bohong sebenarnya istirahat pagi ini (seperti yang ku katakan pada teman-temanku di asrama), setidaknya aku mengistirahatkan pikiranku dari materi-materi kuliah.

Makan di warung nasi menjadi kenikmatan tersendiri untukku. Waktu sendiri tak pernah tersia-siakan untuk mengistirahatkan diri dari segala kepenatan. Memang pada dasarnya aku cukup senang menyendiri dan memikirkan apapun yang ingin aku pikirkan tanpa ada gangguan dari orang lain. Hasil scrolling layar ponsel membawaku pada satu video tentang pemaknaan hari pahlawan. Hal-hal sederhana dalam isi video itu, tapi ada yang membuatku tersentil dalam video itu. Salah satu dari pemeran video memaknai hari pahlawan dengan menelfon ibunya, dan ini menjadi satu tusukan sakit pada pikiranku. Entah mengapa setelah video itu selesai aku menjadi merasa bersalah jarang sekali menelfon ibu, ada juga paling jika membutuhkan sesuatu. Dan ini terus terbayang dalam pikiranku.

Satu kesimpulan pendek dalam hati "Wajib telfon ibu sekarang!". Angka-angka di layar ponsel satu persatu ku sentuh hingga muncul tulisan Ibu di atasnya. Entah mengapa sebelum tanda call kusentuh air mataku mengalir. Malu juga di tempat umum malah mengalirkan air mata tanpa sebab. Tapi apa salahnya? Apakah seorang lelaki tak boleh menangis?

Segala kepenatan yang selalu ku salahkan dan ku limpahkan pada diriku sendiri terasa ringan sekarang. Hal-hal berat dan menekan yang harus ku jalani sebagai bentuk tanggung jawabku menjadi sedikit terobati. Bukan, bukan karena aku meneteskan air mata di warung orang lain, tapi ternyata suara ibu cukup menjadi penawar yang ampuh dalam segala kesulitanku. Bahkan hanya salam darinya dapat membuat air mataku mengalir semakin deras. Sepertinya segala keluhanku ikut luruh bersama air mata itu. Kabar tentang ayah dan adikpun menjadi keseruan tersendiri dari percakapan kami berdua. Celotehan panjang dari ibu yang sebenarnya sudah berulang kali alu dengar tak pernah terasa membosankan di perantauan ini.

Sungguh Allah SWT telah menganugerahkan aku dengan segala rahmatnya. Berbagai tanggung jawab di kampus menjadi sarana ku untuk bisa menikmati indahnya berbincang sederhana dengan ibu. Kepenatanku justru menjadi jalan agar aku bisa menghayati kata perkata yang ibu ucapkan, yang akhir-akhir ini tidak bisa aku dengarkan setiap saat.

Alhamdulillah

11 November 2016
Surabaya

You Might Also Like

1 komentar

  1. Hidup adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan. Semakin tinggi seseorang bermimpi semakin berat pula perjuangan dan pengorbanan. Namun hasil akan berbanding lurus, itu janji sang Pencipta. Jadi teruslah berlari dan mengejar impian. Semua akan indah pada waktunya.


    Ibu

    ReplyDelete