Riwayat Kampung Perahu

“Hey kamu pergi ke sana, cepat ambilkan sebatang kayu. Haluan perahu kita masih perlu diperkokoh lagi. Geladaknya belum sepenuhnya disanggah...

“Hey kamu pergi ke sana, cepat ambilkan sebatang kayu. Haluan perahu kita masih perlu diperkokoh lagi. Geladaknya belum sepenuhnya disanggah oleh pilar-pilar yang kuat. Aku khawatir nanti ketika perahu ini sudah berlayar akan dengan mudah dihantam ombak.” Ujar salah satu anak murid di Sekolah Perahu Hiam Pala.

Di kampung Sira Bana keadaan sedang kalut di sana-sini. Orang-orang berlarian ke sana kemari, mengejar waktu untuk segera menyelesaikan replika perahu yang ditugasi oleh para guru-guru di Sekolah Perahu Hiam Pala. Murid-murid bekerja siang malam agar dengan segera dapat menyelesaikan tugas terakhir mereka di sekolah perahu itu. Setelah beberapa waktu mereka dikarantina di sana, dititipkan kampung-kampung tempat asal mereka masing-masing. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru Indasia, ada yang dari ujung timur tempat matahari terbit, ada yang dari selatan tempat yang terkenal dengan pelaut ulungnya, ada yang berasal dari sisi barat, dan berbagai penjuru Indasia lainnya.

Desa Hiam Pala terkenal di penjuru negeri Indasia sebagai tempat pembuatan perahu paling ulung di negeri itu, bahkan di gugusan Pulau Esya katanya. Tak heran jika banyak orang tua yang sengaja menitipkan muridnya untuk belajar membuat perahu di Desa Hiam Pala. Jauh-jauh mereka berlayar dari segala penjuru Indasia hanya untuk belajar membuat perahu, bahkan ada juga yang berasal dari luar Indasia, dari salah satu Gugusan Pulau Esya. Desa Hiam Pala terkenal sebagai desa pembuat perahu pertama di seluruh dataran Indasia yang luas itu, apalagi negeri Indasia terkenal dengan Negeri Jutaan Pulau. Ya, Indasia adalah negeri yang unik karena tidak hanya terdiri dari daratan yang menyatu, namun terdiri dari jutaan pulau-pulau yang terpisah satu sama lain. Maka dari itu perahu menjadi alat transportasi yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Indasia. Sebelumnya Indasia resmi menyatu sebagai sebuah negeri, daerah ini memiliki desa-desa yang terkenal dengan para pembuat perahu yang ulung. Di ujung barat ada gugusan Pulau Samra yang bahkan kekuatannya pernah dibicarakan di seluruh dunia. Di selatan ada gugusan Pulau Nes Tarangga yang terkenal dengan pelaut-pelaut ulungnya, para bajak laut yang begitu ditakuti oleh pedagang-pedangang dunia. Adalagi di gugusan Pulau Jeava yang terkenal bahkan pernah hampir menyatukan seluruh pulau Indasia dengan kekuatan perahu-perahunya. Tak ayal Indasia setelah resmi bergabung dalam satu kerajaan besar memiliki pengalaman yang matang dan pengetahuan yang cukup dalam hal membuat perahu.

Resminya Indasia untuk bergabung dalam satu kerajaan besar menjadi tolak balik pembangunan di seluruh daratan Indasia. Raja pertama kala itu langsung dengan cepat memerintahkan seluruh penjuru negeri membangun kampung-kampung serta desa-desa agar bisa mengejar ketertinggalan dari kerajaan besar lainnya di dunia. Desa Hiam Pala diperintahkan oleh raja besar untuk menjadi desa pembuat perahu dengan pengajaran yang jelas pertama di seluruh dataran Indasia. Tak ayal, anak-anak dari seluruh penjuru Indasia berdatangan untuk bisa menimbal ilmu di Desa Hiam Pala, sebagai desa pertama yang diberi titah langsung dari raja untuk menjadi desa pembuat perahu.

Desa Hiam Pala kini sedang sibuk dengan segala kegiatannya. Masing-masing murid dengan tergesa-gesa ke sana ke mari membangun replika perahu yang ditugasi oleh guru-guru di sekolah perahu. Selain ditugasi untuk membuat replika perahu sebelum diperbolehkan membuat perahu yang sesungguhnya, mereka juga diperintahkan oleh guru-guru di sana untuk bisa berkenalan dan dekat dengan warga sekitar di Desa Hiam Pala. Sembari mengerjakan replika perahu yang menjadi tugas mereka, dekat dengan warga menjadi salah satu penilaian para guru di sekolah perahu agar bisa diizinkan menjadi pembuat perahu yang sesungguhnya. Salah satu kebiasaan unik di Desa Hiam Pala adalah sebelum seseorang diperbolehkan membuat perahu khas Desa Hiam Pala, mereka harus terlebih dahulu menjadi warga sekitar desa setelah mendapat kelulusan dari sekolah perahu tersebut. Kebiasaan ini sudah turun temurun berabad-abad lamanya, bahkan sebelum dataran Indasia bersatu di bawah satu kerajaan besar. Menurut warga di sana, perahu Desa Hiam Pala memiliki aura dan jiwanya sendiri. Tak boleh ada sembarang orang membuat perahu khas Desa Hiam Pala sebelum warga desa menerima mereka sebagai bagian dari desa. Kebiasaan ini menjadi satu keuntungan dan kerugian yang dirasa oleh para murid sekolah perahu. Keuntungannya jelas dengan berinteraksi dan menjadi bagian dari warga Desa Hiam Pala, mereka akan dengan mudah mendapat masukan-masukan bagaimana cara membuat perahu yang benar dan bisa berlayar di lautan yang bagaimana pun kondisinya. Warga-warga di sana mengaku bisa membuat perahu-perahu dengan lunas yang kokoh, lambung yang stabil, layar-layar yang mengembang dengan gagah, pilar-pilar yang berdiri dengan tegar, dan kemudi yang bisa berbelok dengan sekejap mata apabila sedang berhadapan dengan musuh di depannya. Kekurangannya adalah terkadang saat para murid menyambangi warga desa untuk sekedar berkenalan dan mencari ilmu dari pengalaman mereka, para warga kebanyakan menyuruh mereka melakukan hal-hal aneh yang bahkan tidak sama sekali berhubungan dengan bagaimana cara membuat perahu dengan baik. Warga desa kadang menyuruh mereka untuk berguling-guling di tanah, bersijingkat di atas sampah-sampah desa, menyapu air laut hingga bersih, memanjat pohon kelapa yang sudah tumbang, dan banyak kegiatan lain yang bahkan tidak masuk akal untuk dilakukan. Tidak sama sekali berhubungan dengan bagaimana membuat perahu dengan baik dan benar.

Hari-hari ini di Desa Hiam Pala sedang terjadi kekalutan yang begitu terasa, khususnya untuk para murid sekolah perahu. Kini sudah memasuki penguhujung tahun dan biasanya sudah saatnya mereka dilantik untuk diperbolehkan turut membuat perahu Desa Hiam Pala yang khas itu. Bulan-bulan dimana matahari kembali ke titik tertingginya setelah guyuran hujan beramai-ramai menyambangi seluruh desa menjadi waktu yang paling tepat untuk melantik para murid sekolah perahu. Namun kenyataannya guru-guru masih belum juga bergelagat untuk melantik murid-murid di sekolah perahu, setidaknya itulah yang dirasakan para murid di sekolah perahu. Guru-guru masih berlaku seperti biasa saja tanpa ada arahan mengenai pelajaran apa saja yang harus diselesaikan para murid dan kekurangan-kekurangan apa saja yang harus murid lakukan untuk bisa dilantik menjadi pembuat perahu yang sesungguhnya. Setidaknya bisa ikut membantu warga desa untuk membangun perahu-perahu pesanan. Mungkin tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya untuk sekolah perahu di Desa Hiam Pala. Tidak seperti biasanya ketika matahari sudah kembali di titik tertingginya, ketika gerombolan awan hitam yang membawa hujan sudah tidak lagi menyambangi desa biasanya murid-murid sekolah perahu sudah dilantik untuk bisa naik ke level selanjutnya, namun sepertinya sekarang tidak seperti tahun-tahun biasanya. Sebenarnya ada cerita yang melatar belakanginya. Kejadian yang membuat pelajaran di sekolah perahu terhenti beberapa lama.

Kala itu sekolah perahu sedang memasuki waktu tengah tahun. Ketika gerombolan awan hitam yang membawa hujan baru saja menyambangi Desa Hiam Pala. Kejadian itu terjadi begitu saja, namun berdampak cukup besar untuk keberlangsungan sekolah perahu dan kegiatan di Desa Hiam Pala. Sore hari ketika matahari sudah bergegas akan kembali ke ufuk barat untuk sejenak mengistirahatkan dirinya, sekolah perahu sedang mengadakan praktek pembuatan perahu di pinggir pantai Nafa Stara. Kegiatan tersebut berlangsung dengan mengajak warga desa untuk turut mengenalkan bagaimana suasana Desa Hiam Pala sekaligus mengajari murid-murid sekolah perahu bagaimana cara memperlakukan perahu dengan baik dan benar. Warga desa berdatangan dari rumah-rumahnya untuk melihat bagaimana murid-murid sekolah perahu, calon warga yang kelak akan berbaur menjadi satu bersama mereka. Pada awalnya kegiatan di tepi pantai Nafa Stara biasa saja, sampai salah satu kejadian itu terjadi. Tepi pantai Nafa Stara yang sedang ramai dengan kegiatan sekolah perahu seketika saja menjadi rusuh tak menentu. Terjadi huru hara yang membuyarkan kegiatan di tepi pantai Nafa Stara kala itu. Ada beberapa warga yang dengan sengaja membuat kerusuhan di sore itu dengan sengaja mengacaukan kegiatan yang sedang berlangsung. Beberapa warga datang dan mengerumuni beberapa orang murid sekolah perahu yang sedang melaksanakan kegiatan di sore itu. Sebenarnya dari beberapa warga tersebut tidak hanya warga dari Desa Hiam Pala saja, namun ada juga warga dari Desa Hiam Sira yang memang sejak dahulu berkawan dekat dengan Desa Hiam Pala. Mereka bergerumul pada beberapa murid sekolah perahu. Entah apa yang mereka perbuat, namun setelah kejadian itu, murid-murid yang dikerumuni oleh beberapa warga tersebut segera dilarikan ke tabib setempat untuk mendapat perawatan. Kejadian ini dengan seketika menghentikan kegiatan belajar di tepi pantai Nafa Stara yang sebenarnya masih harus berlangsung beberapa minggu ke depan.

Beberapa waktu setelah kejadian ini terjadi dan diketahui oleh otoritas wilayah setempat, bawahan dari kerajaan besar, dengan satu perintah kegiatan belajar mengajar di sekolah perahu dihentikan seketika. Segala kegiatan belajar mengajar yang diadakan oleh sekolah tersebut tidak diperbolehkan untuk waktu yang tidak jelas ditentukan kapan oleh otoritas wilayah. Tidak hanya itu, otoritas wilayah juga menghentikan kegiatan-kegiatan lain di Desa Hiam Pala dengan beberapa kebijakan-kebijakan yang seakan menutup ruang gerak perangkat Desa Hiam Pala. Kejadian itu menjadi satu kerikil besar yang menyandung seluruh perjalanan Desa Hiam Pala pada saat itu. Seluruh kegiatan desa terhambat dan sekolah perahu tidak bisa diteruskan sampai pihak otoritas wilayah memberi izin untuk dapat melanjutkan kembali kegiatannya.

Guru-guru di sekolah itu bingung untuk bertindak, hal apa yang harus mereka lakukan untuk bisa melanjutkan pelajaran bagi para murid di sekolah perahu tersebut. Bukan hanya karena tanggung jawab mereka sebagai guru yang harus memberi para murid pelajaran untuk membuat perahu. Tetua-tetua adat terus menanyakan bagaimana kelanjutan pelajaran dari murid-murid di sekolah perahu tersebut. Ya, kebiasaan di Desa Hiam Pala adalah segala kegiatan pengajaran di sekolah perahu dari para guru selalu di bawah pengawasan tetua-tetua adat Desa Hiam Pala. Mereka berkepercayaan bahwa murid-murid sekolah perahu yang kelak akan membuat perahu khas Desa Hiam Pala serta menjadi bagian dari warga desa haruslah mendapatkan nilai-nilai adat yang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Entah nilai-nilai apa, yang jelas para tetua adat terus mengawasi bahkan ada juga yang turut dalam proses pengajaran bagi murid sekolah perahu untuk sekedar mengawasi nilai-nilai adat yang dari dulu terwaris harus dapat diteruskan.

Pelajaran sekolah perahu berhenti untuk beberapa lama, dan para guru masih saja bingung untuk melanjutkan pelajaran murid di sekolah perahu tersebut. Tetua adat terus mendesak agar pelajaran terus dilanjutkan, namun otoritas wilayah tidak mengizinkan sekolah perahu untuk melanjutkan pengajarannya.

“Ini kan bukan salah kita. Mereka warga desa yang menyebabkan ini semua. Mengapa kita yang harus pusing untuk menyelesaikan ini semua?” Ucap salah seorang guru dalam rapat sekolah.

“Ya, benar. Bukan salah kita para guru yang menyebabkan kegiatan di sekolah ini terhenti oleh perintah otoritas wilayah. Kegiatan pengajaran masih panjang perjalanannya, pelajaran untuk para murid masih harus dikejar karena banyak yang belum mereka dapatkan.” Kata guru lainnya.

“Belum lagi warga-warga desa itu. Bagaimana para murid mau diterima bila mereka belum mengerti bagaimana adat dan kebiasaan yang ada pada warga di Desa Hiam Pala?”

“Tetua-tetua desa terus juga mendesak kita para guru untuk melanjutkan pelajaran. Apa mereka tidak mengerti tuntutan otoritas wilayah terhadap sekolah ini?”

“Mana warga yang menyebabkan ini semua? Apa mereka berani untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka telah perbuat? Dimana mereka sekarang yang sudah menyebabkan ini semua? Kita di sini para guru yang pusing bagaimana melanjutkan pelajaran mereka. Belum lagi tetua adat yang terus mendesak kita untuk melanjutkan pelajaran. Mereka kira otoritas wilayah dapat ditentang begitu saja? Bisa-bisa jika kita berani melawan, kita didepak dari Desa ini. Setelah berbuat onar dan kegaduhan kemarin, mereka hilang begitu saja tanpa memberi kejelasan yang jelas. Itu kah yang disebut warga berpengalaman di sini? Berbuat onar, tapi tak mau bertanggung jawab, hilang saja entah kemana. Kalau begini terus percuma saja kita mengajari murid kita yang baik-baik, ujung-ujungnya mereka akan bercampur dengan warga yang semacam begitu. Cukup aku keluar.” Kata kepala sekolah yang terlihat paling emosi diantara guru-guru lainnya.

Sejak saat itu kegiatan di sekolah perahu berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan oleh pihak otoritas wilayah. Murid-murid tidak lagi mendapat pengajaran dari guru-guru di sekolah perahu. Guru-guru pun bingung bagaimana harus bertindak dalam keadaan yang seperti ini, belum lagi kepala sekolah yang selama ini mengetuai mereka hilang begitu saja. Tak ayal kegiatan belajar-mengajar yang biasa dilaksanakan di sekolah perahu terhenti begitu saja tanpa kejelasan. Murid-murid bingung harus melakukan apa, para guru terus saja berkutat dengan masalah pikiran dan juga tekanan dari para tetua, dan warga yang “memeriahkan” kegiatan di tepi pantai Nafa Stara hilang begitu saja. Keadaan ini berangsur-angsur mereda dan seakan dilupakan oleh orang-orang di Desa Hiam Pala.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Tak dirasa matahari sudah mulai berada pada titik tertingginya, awan hitam yang bergerumul mengandung hujan sudah jarang menyambangi Desa Hiam Pala. Waktu seperti ini biasanya warga desa sibuk untuk mempersiapkan pelantikan bagi murid-muridnya, para guru sedang sibuk mengejar pelajaran yang belum sempat disampaikan kepada murid, murid-murid sibuk melaksanakan tugas yang bertumpuk dari para guru, hanya untuk sampai pada titik yang mereka selalu dambakan. Pelantikan. Para murid mulai kembali mengingat tentang pelajaran mereka yang telah lama ditinggal karena kejadian waktu itu. Semakin menuju penghujung tahun pelajaran mengancam mereka untuk mendapat dua konsekuensi. Dilantik atau sama sekali tidak lulus dari sekolah perahu tersebut. Untuk seakan mengingatkan keberadaan mereka bagi para guru yang mengajar di sekolah perahu tersebut, mereka mencari-cari ide agar keberadaan mereka kembali diperhatikan oleh para guru. Guru-guru yang ditinggal kepala sekolahnya juga berpikiran sama. Mereka sama sekali tidak ingin diketahui sebagai guru-guru yang gagal dalam memberikan pelajarannya. Belum lagi tekanan dari para tetua adat yang terus menerus mengawasi kegiatan pengajaran menyebabkan mereka menjadi semakin tertekan. Warga desa juga mendesak untuk melaksanakan kegiatan pengajaran namun juga terus menerus memepertanyakan tentang kemungkinan murid-murid di sekolah itu akan diterima atau tidak di lingkungan desa.

Tulisan corat coret di dinding desa, obrolan dan kabar burung, perangai-perangai yang bertuliskan “Kami Masih Ada”, dituliskan dimana-mana oleh murid-murid sekolah tersebut. Dengan semangat mereka menginginkan untuk dapat melanjutkan pelajarannya. Begitu pula guru-guru mereka, namun apa daya otoritas wilayah sama sekali tidak mengizinkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah perahu itu berjalan sampai waktu yang tidak ditentukan. Sayang sekali warga yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian di tepi pantai Nafa Stara tak pernah terlihat batang hidungnya. Sayang sekali kesempatan para murid untuk bisa bergaul dengan warga desa, untuk bisa turut serta membuat perahu, untuk bisa dilantik digantung oleh keadaan.

You Might Also Like

0 komentar