Pemuda Bibit Koruptor
18:34:00
Di gelap malam itu duduk siap sekumpulan pemuda/i di sebuah
warung kecil pinggir jalan. Bukan kemewahan tempat serta suguhan yang membuat
keseruan malam itu seakan tidak bisa terlewati. Bukan pula pelayanan handal
yang tersaji dari sang pramusaji yang membuat mereka enggan meninggalkan tempat
itu. Sederet kata-kata penuh amarah dan emosi terlontar dari mulut-mulut suci
pemuda/i tersebut yang membuat seakan malam tersebut tak akan pernah usai. Segudang
berita, data, fakta, hingga terkaan mereka sajikan dalam sebuah meja panjang
yang telah terisi oleh beberapa cangkir kopi nikmat ditemani dengan pisang goreng
hangat di sebelahnya.
Lelaki kekar dengan rambut panjang memulai pembicaraan
dengan suara lantang dan keras “Negeri
ini Negeri gila. Rakyat jatuh miskin dan melarat, pengangguran berceceran dari
pinggiran desa hingga tengah kota, sumber daya alam dengan mudah dijilati oleh
antek-antek asing, propaganda-propaganda barat masuk dengan mudah. Negara kita
sudah dijadikan pelacur hina oleh dunia!.”
Dari pojok meja makan menyahut seorang lelaki dengan tubuh
agak kecil dibaluti kemeja kotak-kotak warna merah “Negeri ini Negeri juara,
juara dalam hal kemelaratan, juara dalam hal pembodohan, juara dalam hal
kebohongan, juara dalam hal kenistaan.”
Sembari mengepulkan asap dari mulutnya, seorang pemuda
dengan rambut tipis dan kacamata yang bergantung di setengah kepalanya
menimpali “Setuju dengan kalian, Negeri ini Negeri mustahil. Dengan segala
kemelaratan dan keblangsakan ini, bapak-bapak berdasi di depan meja besar,
diatapi bangunan besar nan megah, serta hawa dingin penyejuk ruangan sekarang
sedang tertidur lelap menikmati hasil jerih payahnya tahun lalu bertarung dalam
pesta demokrasi. Kini janji-janjinya sudah hilang dimakan waktu, bahkan dengan
hinanya ia memakan hak-hak rakyat demi kepuasannya sendiri.”
Pembicaraan seakan tak pernah usai. Sang rembulan yang sejak
tadi larut dalam pembicaraan seakan tak ingin lari dari hangatnya obrolan.
Malam seakan sengaja dibuat panjang olehnya, demi memuaskan rasa penasaran
tentang hal apa yang akan pemuda/i ini obrolkan.
Secangkir kopi yang daritadi menemani tak terasa sudah
sampai pada akhir hayatnya. Ampas hitam di dasar cangkir, dengan bangga
menampakan dirinya. Sepiring pisang goreng yang tadinya penuh, kini tinggal
menyisakan satu setengah pisang goreng. Dengan penuh hati-hati dan kepedulian,
mereka membagi rata seluruh santapan yang tersisa di meja.
Pemuda berbaju putih dengan peci di kepalanya menghantam
pembicaraan dengan kata-katanya “Saya laknat para pejabat itu. Saya kutuk
bapa-bapa di gedung megah itu. Saya sumpahi gendut-gendut tak berhati itu.
Koruptor adalah serendah-rendahnya manusia, seburuk-buruknya masyarakat,
sehina-hinanya makhluk. Ketika besar dan sudah memiliki posisi nanti, saya akan
menjadi orang yang paling depan menistakan para koruptor, tikus-tikus kotor
perusak semboyan suci pancasila. Pegang janji saya!”
Hampir semua orang di meja tersebut tercengang, sekaligus
takjub akan keberanian pemuda ini dalam keinginannya melawan apa yang telah
dicaci-maki oleh seluruh bangsa Indonesia ini.
Dengan penuh emosi dan amarah, salah satu wanita yang ikut
hanyut dalam obrolan sedari tadi mengungkapkan apa yang ia pendam sejak tadi
“Bunuh para koruptor. Halalkan darahnya. Hinakan seluruh keluarganya. Tempatkan
mereka di tempat yang paling menjijikan di negeri ini. Sirami mereka dengan
sisa-sisa air mata rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa melihat
anak-anaknya mati kelaparan. Suapi mereka dengan perut-perut buncit rakyat
kecil yang tergeletak di pinggiran kota besar. Tamparkan wajah mereka dengan
sisa-sisa senyuman anak desa yang telah kehilangan orang tuanya karena
dibohongi oleh romantisme metropolitan.”
Semakin hangat pembicaraan membuat matahari iri dibuatnya.
Dari ufuk timur ia mulai mengintip sembari mendesak rembulan berganti posisi
dengannya. Rembulanpun mengalah dan mempersilahkan cahaya dunia menyinari
warung kecil tersebut. Para pemuda/i tersebut membubarkan diri untuk
beraktivitas seperti seharusnya. Sebelum pergi, tak lupa mereka membayar
seluruh santapan mereka malam itu. Sang penjaga warung tersebut merasa
bersyukur. Selain warung kecilnya disinggahi banyak pengunjung, ia mensyukuri
bahwa dari warung kecilnya telah muncul diskusi-diskusi besar tentang Negara
ini dari para calon penerus bangsa.
…
Matahari telah gagah memantapkan singgasananya di atas
langit biru. Dengan segala keyakinannya, ia pancarkan seluruh cahaya yang dapat
menggerakan roda kehidupan di muka bumi. Cahaya kehidupan pengganti malam,
waktu kebanyakan orang beraktivitas. Pemuda/i tadi malampun turut meramaikan
kehidupan di bumi. Menjalankan apa yang harus mereka kerjakan.
Tepatnya waktu kini adalah waktunya para pemuda/i tersebut
menghadapi sebuah ujian. Ujian dalam kelas yang dapat menentukan jalan mereka
ke depan. Lain dari ujian kehidupan yang bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan
untuk siapapun. Ujian yang kini mereka hadapi jelas terjadwal rapih, terpampang
di depan papan besar di tengah jalan berjuluk majalah dinding (mading).
Tepat jam 10 pagi, ketika jam menunjukan senyumnya
menggantung di dinding sebuah ruangan. Ruangan sejuk yang telah sesak sedari
tadi. Penuh dengan orang-orang yang siap atau tidak, akan menghadapi ujian
tersebut. Beruntunglah untuk orang-orang yang sedari lama telah bersiap.
Ketenangan mereka jelas terlihat dari sikap serta tatapan matanya. Lain lagi
dengan orang-orang tidak mempersiapkannya sama sekali. Peluh keringat, mengalir
deras dari sisi dahi mereka.
Seorang wanita dengan hijab biru muda masuk ke dalam ruangan
dengan membawa setumpuk kertas berisi tulisan-tulisan yang dapat menakuti
seluruh isi kelas. Tepatnya untuk orang yang tidak bersiap sama sekali. Setelah
merapihkan meja di depan kelas, dengan tangkas ia berkeliling menghitung jumlah
lembaran kertas yang ia bawa untuk segera dibagikan kepada orang-orang di
depannya.
Ingat pemuda/i tadi malam yang dengan serius memersalahkan
negeri ini. Mereka turut duduk dalam satu ruangan yang sama. Lain dengan meja
warung kecil tadi malam yang diisi bercangkir kopi hitam dan sepiring pisang goreng.
Kini mereka disajikan selembar kertas kecil berisi kata-kata, menanyakan apa
yang selama ini mereka dapat di dalam kelas. Bertuliskan kalimat-kalimat yang
seharusnya tidak asing di dalam pikiran mereka.
Tak ada yang membedakan mereka yang tadi malam berkumpul
disebuah warung kecil menghabiskan hampir sebuah Negara dalam obrolan yang
menghanyutkan dengan pemuda/i lain dalam ruang tersebut. Hanya kesiapan dan
kemantapan dalam menghadapi ujian ini yang membedakan perangai mereka selama
waktu ujian. Pemuda/i tadi pun terbagi menjadi orang-orang yang siap dan tidak
siap. Tidak ada satu hal pun yang membedakan mereka kecuali kesiapan mereka
menghadapi ujian.
Untuk orang-orang yang sama sekali tidak bersiap, mulai
melakukan gerakan-gerakan tidak terpuji. Yang mungkin saja sudah direncanakan
sebelum memasuki ruangan tersebut. Bertindak tidak memerdulikan norma yang ada,
mencari isi dari selembar kosong yang tidak sama sekali mereka persiapkan.
Berlaku curang tanpa rasa salah dan sesal sedikitpun. Tak terkecuali pemuda/i
tadi malam yang tidak sama sekali memersiapkan ujian ini. Mereka dengan sengaja
berbuat hal yang tidak terpuji demi merasa puas, lolos dan lulus dalam ujian
ini.
Semua gelagat mereka telah sama sekali menghapus haru-biru
perkataan mereka tadi malam. Mencerca koruptor dengan perkataan hina, sedangkan
perbuatan mereka tidak ada bedanya dengan kata-kata nista yang mereka ucapkan
tadi malam. Cacian terhadap para pemangku kekuasaan yang bertindak kurang ajar
terhadap rakyat kecil, seakan menjadi cermin perbuatan mereka saat itu.
Dengan
tanpa rasa bersalah, mereka telah menyalahi hakekat pendidikan. Ketika pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan
manusia seutuhnya seketika dihinakan oleh perbuatan keji tersebut.
Hilang semua romantisme tadi malam. Mereka menyianyiakan
waktu sang rembulan yang panjang hanya untuk mendiskusikan sesuatu yang dalam
diri mereka pun masih jauh darinya. Menyalahkan perbuatan orang lain, sebelum
bercermin gelagat mereka selama ini. Mengutuk perbuatan hina, sedangkan mereka
melakukannya sendiri. Andai saja
matahari tahu akan hal ini, bisa saja ia tidak akan memerbolehkan
rembulan untuk hadir lagi menggantikan tempatnya di malam hari. Waktu malam
hanya jadi waktu dimana para pemuda/i dengan bebas memersalahkan perbuatan
orang lain, tanpa melihat ke dalam diri sendiri. Waktu malam hanya jadi waktu
mencaci semua pekerjaan pemerintah, semua kebijakan pemerintah, semua jerih
payah pemerintah, tanpa memberikan bantuan yang berarti kepada pemerintah.
Harusnya mereka malu akan hal ini.
…
Inikah cerminan pemuda/i zaman sekarang? Mudah menyalahkan
semua orang, tanpa melihat apakah yang ia kerjakan telah benar dan sesuai
dengan apa yang ia cacikan kepada orang lain. Pemuda/i kini yang menuntut
kebenaran dan kejujuran dari semua orang, bahkan tidak bisa berbuat JUJUR pada
dirinya sendiri. Dengan mudah membohongi dirinya sendiri demi kepuasan dan rasa
egonya sendiri. Sekecil apapun perbuatan curang, akan membekas dan menjadikan
bibit-bibit kecurangan di masa depan. Seharusnya dikembalikan lagi, yang perlu
digantung para koruptor atau pemuda bibit koruptor?
1 komentar
Pengaruh globalisasi, sudah keterlaluan 'keterbukaan' negara ini .... Pemuda terlalu dimanjakan, akibat nya? Benar katamu kal, mudah menyalahkan orang lain tanpa melihat dirinya sendiri
ReplyDelete