Pemuda Bibit Koruptor

Di gelap malam itu duduk siap sekumpulan pemuda/i di sebuah warung kecil pinggir jalan. Bukan kemewahan tempat serta suguhan yang membuat k...

Di gelap malam itu duduk siap sekumpulan pemuda/i di sebuah warung kecil pinggir jalan. Bukan kemewahan tempat serta suguhan yang membuat keseruan malam itu seakan tidak bisa terlewati. Bukan pula pelayanan handal yang tersaji dari sang pramusaji yang membuat mereka enggan meninggalkan tempat itu. Sederet kata-kata penuh amarah dan emosi terlontar dari mulut-mulut suci pemuda/i tersebut yang membuat seakan malam tersebut tak akan pernah usai. Segudang berita, data, fakta, hingga terkaan mereka sajikan dalam sebuah meja panjang yang telah terisi oleh beberapa cangkir kopi nikmat ditemani dengan pisang goreng hangat di sebelahnya.

Lelaki kekar dengan rambut panjang memulai pembicaraan dengan suara lantang dan keras  “Negeri ini Negeri gila. Rakyat jatuh miskin dan melarat, pengangguran berceceran dari pinggiran desa hingga tengah kota, sumber daya alam dengan mudah dijilati oleh antek-antek asing, propaganda-propaganda barat masuk dengan mudah. Negara kita sudah dijadikan pelacur hina oleh dunia!.”

Dari pojok meja makan menyahut seorang lelaki dengan tubuh agak kecil dibaluti kemeja kotak-kotak warna merah “Negeri ini Negeri juara, juara dalam hal kemelaratan, juara dalam hal pembodohan, juara dalam hal kebohongan, juara dalam hal kenistaan.”

Sembari mengepulkan asap dari mulutnya, seorang pemuda dengan rambut tipis dan kacamata yang bergantung di setengah kepalanya menimpali “Setuju dengan kalian, Negeri ini Negeri mustahil. Dengan segala kemelaratan dan keblangsakan ini, bapak-bapak berdasi di depan meja besar, diatapi bangunan besar nan megah, serta hawa dingin penyejuk ruangan sekarang sedang tertidur lelap menikmati hasil jerih payahnya tahun lalu bertarung dalam pesta demokrasi. Kini janji-janjinya sudah hilang dimakan waktu, bahkan dengan hinanya ia memakan hak-hak rakyat demi kepuasannya sendiri.”

Pembicaraan seakan tak pernah usai. Sang rembulan yang sejak tadi larut dalam pembicaraan seakan tak ingin lari dari hangatnya obrolan. Malam seakan sengaja dibuat panjang olehnya, demi memuaskan rasa penasaran tentang hal apa yang akan pemuda/i ini obrolkan.

Secangkir kopi yang daritadi menemani tak terasa sudah sampai pada akhir hayatnya. Ampas hitam di dasar cangkir, dengan bangga menampakan dirinya. Sepiring pisang goreng yang tadinya penuh, kini tinggal menyisakan satu setengah pisang goreng. Dengan penuh hati-hati dan kepedulian, mereka membagi rata seluruh santapan yang tersisa di meja.

Pemuda berbaju putih dengan peci di kepalanya menghantam pembicaraan dengan kata-katanya “Saya laknat para pejabat itu. Saya kutuk bapa-bapa di gedung megah itu. Saya sumpahi gendut-gendut tak berhati itu. Koruptor adalah serendah-rendahnya manusia, seburuk-buruknya masyarakat, sehina-hinanya makhluk. Ketika besar dan sudah memiliki posisi nanti, saya akan menjadi orang yang paling depan menistakan para koruptor, tikus-tikus kotor perusak semboyan suci pancasila. Pegang janji saya!”

Hampir semua orang di meja tersebut tercengang, sekaligus takjub akan keberanian pemuda ini dalam keinginannya melawan apa yang telah dicaci-maki oleh seluruh bangsa Indonesia ini.

Dengan penuh emosi dan amarah, salah satu wanita yang ikut hanyut dalam obrolan sedari tadi mengungkapkan apa yang ia pendam sejak tadi “Bunuh para koruptor. Halalkan darahnya. Hinakan seluruh keluarganya. Tempatkan mereka di tempat yang paling menjijikan di negeri ini. Sirami mereka dengan sisa-sisa air mata rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa melihat anak-anaknya mati kelaparan. Suapi mereka dengan perut-perut buncit rakyat kecil yang tergeletak di pinggiran kota besar. Tamparkan wajah mereka dengan sisa-sisa senyuman anak desa yang telah kehilangan orang tuanya karena dibohongi oleh romantisme metropolitan.”

Semakin hangat pembicaraan membuat matahari iri dibuatnya. Dari ufuk timur ia mulai mengintip sembari mendesak rembulan berganti posisi dengannya. Rembulanpun mengalah dan mempersilahkan cahaya dunia menyinari warung kecil tersebut. Para pemuda/i tersebut membubarkan diri untuk beraktivitas seperti seharusnya. Sebelum pergi, tak lupa mereka membayar seluruh santapan mereka malam itu. Sang penjaga warung tersebut merasa bersyukur. Selain warung kecilnya disinggahi banyak pengunjung, ia mensyukuri bahwa dari warung kecilnya telah muncul diskusi-diskusi besar tentang Negara ini dari para calon penerus bangsa.


Matahari telah gagah memantapkan singgasananya di atas langit biru. Dengan segala keyakinannya, ia pancarkan seluruh cahaya yang dapat menggerakan roda kehidupan di muka bumi. Cahaya kehidupan pengganti malam, waktu kebanyakan orang beraktivitas. Pemuda/i tadi malampun turut meramaikan kehidupan di bumi. Menjalankan apa yang harus mereka kerjakan.

Tepatnya waktu kini adalah waktunya para pemuda/i tersebut menghadapi sebuah ujian. Ujian dalam kelas yang dapat menentukan jalan mereka ke depan. Lain dari ujian kehidupan yang bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan untuk siapapun. Ujian yang kini mereka hadapi jelas terjadwal rapih, terpampang di depan papan besar di tengah jalan berjuluk majalah dinding (mading).

Tepat jam 10 pagi, ketika jam menunjukan senyumnya menggantung di dinding sebuah ruangan. Ruangan sejuk yang telah sesak sedari tadi. Penuh dengan orang-orang yang siap atau tidak, akan menghadapi ujian tersebut. Beruntunglah untuk orang-orang yang sedari lama telah bersiap. Ketenangan mereka jelas terlihat dari sikap serta tatapan matanya. Lain lagi dengan orang-orang tidak mempersiapkannya sama sekali. Peluh keringat, mengalir deras dari sisi dahi mereka.

Seorang wanita dengan hijab biru muda masuk ke dalam ruangan dengan membawa setumpuk kertas berisi tulisan-tulisan yang dapat menakuti seluruh isi kelas. Tepatnya untuk orang yang tidak bersiap sama sekali. Setelah merapihkan meja di depan kelas, dengan tangkas ia berkeliling menghitung jumlah lembaran kertas yang ia bawa untuk segera dibagikan kepada orang-orang di depannya.

Ingat pemuda/i tadi malam yang dengan serius memersalahkan negeri ini. Mereka turut duduk dalam satu ruangan yang sama. Lain dengan meja warung kecil tadi malam yang diisi bercangkir kopi hitam dan sepiring pisang goreng. Kini mereka disajikan selembar kertas kecil berisi kata-kata, menanyakan apa yang selama ini mereka dapat di dalam kelas. Bertuliskan kalimat-kalimat yang seharusnya tidak asing di dalam pikiran mereka.

Tak ada yang membedakan mereka yang tadi malam berkumpul disebuah warung kecil menghabiskan hampir sebuah Negara dalam obrolan yang menghanyutkan dengan pemuda/i lain dalam ruang tersebut. Hanya kesiapan dan kemantapan dalam menghadapi ujian ini yang membedakan perangai mereka selama waktu ujian. Pemuda/i tadi pun terbagi menjadi orang-orang yang siap dan tidak siap. Tidak ada satu hal pun yang membedakan mereka kecuali kesiapan mereka menghadapi ujian.

Untuk orang-orang yang sama sekali tidak bersiap, mulai melakukan gerakan-gerakan tidak terpuji. Yang mungkin saja sudah direncanakan sebelum memasuki ruangan tersebut. Bertindak tidak memerdulikan norma yang ada, mencari isi dari selembar kosong yang tidak sama sekali mereka persiapkan. Berlaku curang tanpa rasa salah dan sesal sedikitpun. Tak terkecuali pemuda/i tadi malam yang tidak sama sekali memersiapkan ujian ini. Mereka dengan sengaja berbuat hal yang tidak terpuji demi merasa puas, lolos dan lulus dalam ujian ini.

Semua gelagat mereka telah sama sekali menghapus haru-biru perkataan mereka tadi malam. Mencerca koruptor dengan perkataan hina, sedangkan perbuatan mereka tidak ada bedanya dengan kata-kata nista yang mereka ucapkan tadi malam. Cacian terhadap para pemangku kekuasaan yang bertindak kurang ajar terhadap rakyat kecil, seakan menjadi cermin perbuatan mereka saat itu. 
Dengan tanpa rasa bersalah, mereka telah menyalahi hakekat pendidikan.  Ketika pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan manusia seutuhnya seketika dihinakan oleh perbuatan keji tersebut.

Hilang semua romantisme tadi malam. Mereka menyianyiakan waktu sang rembulan yang panjang hanya untuk mendiskusikan sesuatu yang dalam diri mereka pun masih jauh darinya. Menyalahkan perbuatan orang lain, sebelum bercermin gelagat mereka selama ini. Mengutuk perbuatan hina, sedangkan mereka melakukannya sendiri. Andai saja  matahari tahu akan hal ini, bisa saja ia tidak akan memerbolehkan rembulan untuk hadir lagi menggantikan tempatnya di malam hari. Waktu malam hanya jadi waktu dimana para pemuda/i dengan bebas memersalahkan perbuatan orang lain, tanpa melihat ke dalam diri sendiri. Waktu malam hanya jadi waktu mencaci semua pekerjaan pemerintah, semua kebijakan pemerintah, semua jerih payah pemerintah, tanpa memberikan bantuan yang berarti kepada pemerintah. Harusnya mereka malu akan hal ini.



Inikah cerminan pemuda/i zaman sekarang? Mudah menyalahkan semua orang, tanpa melihat apakah yang ia kerjakan telah benar dan sesuai dengan apa yang ia cacikan kepada orang lain. Pemuda/i kini yang menuntut kebenaran dan kejujuran dari semua orang, bahkan tidak bisa berbuat JUJUR pada dirinya sendiri. Dengan mudah membohongi dirinya sendiri demi kepuasan dan rasa egonya sendiri. Sekecil apapun perbuatan curang, akan membekas dan menjadikan bibit-bibit kecurangan di masa depan. Seharusnya dikembalikan lagi, yang perlu digantung para koruptor atau pemuda bibit koruptor?

You Might Also Like

1 komentar

  1. Pengaruh globalisasi, sudah keterlaluan 'keterbukaan' negara ini .... Pemuda terlalu dimanjakan, akibat nya? Benar katamu kal, mudah menyalahkan orang lain tanpa melihat dirinya sendiri

    ReplyDelete